Perguruan Tinggi Belum Mampu Tumbuhkan Kemandirian Mahasiswa
Yogyakarta-RoL-- Perguruan tinggi dinilai belum mampu menumbuhkan kemandirian dan ketertarikan mahasiswa pada kewirausahaan.
Kemandirian mahasiswa terutama dalam hal kepemimpinan serta kewirausahaan belum bisa ditumbuhkan, sehingga mereka sering kehilangan orientasi, kata praktisi kewirausahaan, Prof Dr HAR Tilaar dalam kuliah umum 'Membangun kapasitas kepemimpinan dan kewirausahaan' di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Rabu.
Ia mengatakan perguruan tinggi juga belum mampu menumbuhkan kepercayaan diri mahasiswa terhadap studi yang ditempuhnya, sehingga salah satu dampaknya sering menimbulkan bentrok atau kekacauan antar mereka, maupun mereka dengan perguruan tingginya.
Menurut dia, selama ini perguruan tinggi cenderung ke kepentingan bisnis (hanya mencari keuntungan finansial), dan belum mengarah untuk kepentingan yang terbaik bagi mahasiswa.
Selama ini perguruan tinggi hanya berkutat pada masalah memperbaiki ranking perguruan tinggi itu sendiri, namun tidak pernah memikirkan perbaikan untuk kepentingan mahasiswanya, katanya. Tilaar mencontohkan ada sebuah suratkabar yang setiap tahun mengumumkan perguruan tinggi terbaik, padahal kenyataannya masyarakat mulai tidak percaya apa maksud dan tujuan dari ranking tersebut.
Masalah ranking hanya berhubungan dengan citra perguruan tinggi, dan itu dijadikan alat untuk mengumpulkan dana, bukan untuk kepentingan mahasiswa, katanya. Karena itu, menurut dia, perlu segera diambil langkah untuk menciptakan mahasiswa yang percaya diri dan menjadi tertarik untuk melakukan studi dengan serius, sehingga menciptakan kemandirian mereka baik dalam kepemimpinan maupun kewirausahaan.
Selama ini kepentingan mahasiswa belum diakomodir di perguruan tinggi. Ini tugas perguruan tinggi untuk menjadikan yang terbaik dengan menumbuhkan kegiatan-kegiatan mahasiswa, katanya. Kata dia, tugas perguruan tinggi adalah bagaimana agar mahasiswa lebih tahu arah studinya dan dikembangkan dalam kewirausahaan serta kepemimpinan.
Kehilangan arah
Sementara itu, praktisi kewirausahaan Dr Martha Tilaar mengatakan saat ini tidak ada sesuatu yang dapat menarik perhatian mahasiswa, sehingga mereka tidak terarah dan akhirnya cenderung 'kehilangan arah'. Ia mengatakan, pengalamannya merintis dunia kewirausahaan dimulai pada 1970 dengan menyelenggarakan pendidikan keterampilan wanita khususnya ibu rumah tangga dan wanita 'drop out' sekolah.
Fenomena kebutuhan lapangan pekerjaan mengakibatkan perkembangan pada pendidikan keterampilan yang saya kelola hingga 1990-an pesertanya bukan hanya dari kalangan ibu rumah tangga, tetapi meluas dengan diikuti kalangan lulusan D-3, katanya.
Kata dia, bahkan pada 2000-an peserta pendidikan lembaga ini 80 persen adalah sarjana. Menurut Martha Tilaar, kenyataan tersebut menjadi bukti bahwa mereka (para lulusan perguruan tinggi) belum siap memasuki dunia kerja, dan mereka ingin memiliki keterampilan kerja.
Sejak saat itu saya kemudian meresmikan lembaga kami menjadi lembaga pendidikan formal. Saya juga menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan kosmetika internasional, dan menjadikan Puspita Martha sebagai lembaga pendidikan keterampilan internasional, katanya. Ia mengatakan, saat ini lulusan perguruan tinggi apabila ingin kerja harus dilatih lagi selama beberapa bulan.
Dia mencontohkan karyawan baru yang diterima dalam perusahaan training spa di Bali harus dididik selama delapan bulan. Dari sisi pengusaha, ini merupakan kerugian, karena harus membayar gaji sesuai UMR (upah minimum regional) dan uang makan serta membayar tenaga pengajar. Padahal mereka belum produktif, katanya.
Menurut dia, saat ini tingkat kewirausahaan di Indonesia baru mencapai satu persen dari total jumlah calon tenaga kerja yang ada. Padahal Singapura, Malaysia dan Philipina sudah mencapai enam persen. Jika melihat potensi di Indonesia, tingkat kewirausahaan seharusnya dapat dicapai sampai 10 persen, dan ini menjadi target kami, katanya.
Ia mencontohkan, beberapa tahun lalu ada perusahaan besar kosmetik yang ingin mengembangkan perusahaan kosmestik internasional di Indonesia yaitu di Surabaya, tetapi akhirnya membatalkan dan memilih mengembangkan di India serta Thailand, karena tenaga kerja di dua negara tersebut lebih siap. Indonesia memiliki sumber daya manusia yang banyak, tetapi kenyataannya belum mampu memenuhi keinginan pasar, katanya. antara/mim
Yogyakarta-RoL-- Perguruan tinggi dinilai belum mampu menumbuhkan kemandirian dan ketertarikan mahasiswa pada kewirausahaan.
Kemandirian mahasiswa terutama dalam hal kepemimpinan serta kewirausahaan belum bisa ditumbuhkan, sehingga mereka sering kehilangan orientasi, kata praktisi kewirausahaan, Prof Dr HAR Tilaar dalam kuliah umum 'Membangun kapasitas kepemimpinan dan kewirausahaan' di Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Rabu.
Ia mengatakan perguruan tinggi juga belum mampu menumbuhkan kepercayaan diri mahasiswa terhadap studi yang ditempuhnya, sehingga salah satu dampaknya sering menimbulkan bentrok atau kekacauan antar mereka, maupun mereka dengan perguruan tingginya.
Menurut dia, selama ini perguruan tinggi cenderung ke kepentingan bisnis (hanya mencari keuntungan finansial), dan belum mengarah untuk kepentingan yang terbaik bagi mahasiswa.
Selama ini perguruan tinggi hanya berkutat pada masalah memperbaiki ranking perguruan tinggi itu sendiri, namun tidak pernah memikirkan perbaikan untuk kepentingan mahasiswanya, katanya. Tilaar mencontohkan ada sebuah suratkabar yang setiap tahun mengumumkan perguruan tinggi terbaik, padahal kenyataannya masyarakat mulai tidak percaya apa maksud dan tujuan dari ranking tersebut.
Masalah ranking hanya berhubungan dengan citra perguruan tinggi, dan itu dijadikan alat untuk mengumpulkan dana, bukan untuk kepentingan mahasiswa, katanya. Karena itu, menurut dia, perlu segera diambil langkah untuk menciptakan mahasiswa yang percaya diri dan menjadi tertarik untuk melakukan studi dengan serius, sehingga menciptakan kemandirian mereka baik dalam kepemimpinan maupun kewirausahaan.
Selama ini kepentingan mahasiswa belum diakomodir di perguruan tinggi. Ini tugas perguruan tinggi untuk menjadikan yang terbaik dengan menumbuhkan kegiatan-kegiatan mahasiswa, katanya. Kata dia, tugas perguruan tinggi adalah bagaimana agar mahasiswa lebih tahu arah studinya dan dikembangkan dalam kewirausahaan serta kepemimpinan.
Kehilangan arah
Sementara itu, praktisi kewirausahaan Dr Martha Tilaar mengatakan saat ini tidak ada sesuatu yang dapat menarik perhatian mahasiswa, sehingga mereka tidak terarah dan akhirnya cenderung 'kehilangan arah'. Ia mengatakan, pengalamannya merintis dunia kewirausahaan dimulai pada 1970 dengan menyelenggarakan pendidikan keterampilan wanita khususnya ibu rumah tangga dan wanita 'drop out' sekolah.
Fenomena kebutuhan lapangan pekerjaan mengakibatkan perkembangan pada pendidikan keterampilan yang saya kelola hingga 1990-an pesertanya bukan hanya dari kalangan ibu rumah tangga, tetapi meluas dengan diikuti kalangan lulusan D-3, katanya.
Kata dia, bahkan pada 2000-an peserta pendidikan lembaga ini 80 persen adalah sarjana. Menurut Martha Tilaar, kenyataan tersebut menjadi bukti bahwa mereka (para lulusan perguruan tinggi) belum siap memasuki dunia kerja, dan mereka ingin memiliki keterampilan kerja.
Sejak saat itu saya kemudian meresmikan lembaga kami menjadi lembaga pendidikan formal. Saya juga menjalin kerjasama dengan perusahaan-perusahaan kosmetika internasional, dan menjadikan Puspita Martha sebagai lembaga pendidikan keterampilan internasional, katanya. Ia mengatakan, saat ini lulusan perguruan tinggi apabila ingin kerja harus dilatih lagi selama beberapa bulan.
Dia mencontohkan karyawan baru yang diterima dalam perusahaan training spa di Bali harus dididik selama delapan bulan. Dari sisi pengusaha, ini merupakan kerugian, karena harus membayar gaji sesuai UMR (upah minimum regional) dan uang makan serta membayar tenaga pengajar. Padahal mereka belum produktif, katanya.
Menurut dia, saat ini tingkat kewirausahaan di Indonesia baru mencapai satu persen dari total jumlah calon tenaga kerja yang ada. Padahal Singapura, Malaysia dan Philipina sudah mencapai enam persen. Jika melihat potensi di Indonesia, tingkat kewirausahaan seharusnya dapat dicapai sampai 10 persen, dan ini menjadi target kami, katanya.
Ia mencontohkan, beberapa tahun lalu ada perusahaan besar kosmetik yang ingin mengembangkan perusahaan kosmestik internasional di Indonesia yaitu di Surabaya, tetapi akhirnya membatalkan dan memilih mengembangkan di India serta Thailand, karena tenaga kerja di dua negara tersebut lebih siap. Indonesia memiliki sumber daya manusia yang banyak, tetapi kenyataannya belum mampu memenuhi keinginan pasar, katanya. antara/mim
Title : Perguruan Tinggi Belum Mampu Tumbuhkan Kemandirian Mahasiswa
Description : Perguruan Tinggi Belum Mampu Tumbuhkan Kemandirian Mahasiswa Yogyakarta-RoL-- Perguruan tinggi dinilai belum mampu menumbuhkan kemandirian ...
Description : Perguruan Tinggi Belum Mampu Tumbuhkan Kemandirian Mahasiswa Yogyakarta-RoL-- Perguruan tinggi dinilai belum mampu menumbuhkan kemandirian ...
0 Response to "Perguruan Tinggi Belum Mampu Tumbuhkan Kemandirian Mahasiswa"
Post a Comment