Kemiskinan Salah Siapa ?

Beberapa waktu lalu, kita dikagetkan oleh berita yang cukup
mengenaskan. Pemerintah kota Padang melakukan razia terhadap pengemis
dan anak jalanan di sepanjang kota Padang.
Razia seperti ini sudah berulang kali dilakukan namun sepertinya angka
pengemis dan anak jalanan terus bertambah sehingga cukup jadi alasan
buat pemerintah untuk memberantas mereka.

Mengapa angka jumlah pengemis dan anak jalanan terus bertambah?
Berbagai wacana bisa diungkapkan untuk menjawab pertanyaan ini.
Tetapi, dari sekian banyak jawaban, yang jelas pengemis dan anak
jalanan senantiasa datang dan bermunculan dari daerah-daerah miskin.
Di mana ada kemiskinan, di situ ada pengemis dan anak jalanan.

Mengapa di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini masih ada
penduduk yang memilih melanjutkan hidup dengan cara mengemis maupun
menjadi anak jalanan? Padahal, jika kita perhatikan isi pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, Di situ terbaca dengan jelas, bahwa di
antara tujuan kemerdekaan adalah untuk kesejahteraan umum yang
didasarkan pada, antara lain, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.

Begitu UUD 1945 Pasal 34 ayat (1) juga disebutkan: fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Lantas, mengapa
negara tak mampu menjalankan tugas yang sudah diembannya sejak tahun
1945, ketika UUD 1945 pertama kali disusun?

Sebenarnya, negeri bukan tidak mampu. Bumi pertiwi yang kita diami ini
menyimpan kekayaan alam yang luar biasa. Mengapa rakyatnya tetap
miskin, karena negeri ini, lebih banyak diurus oleh orang-orang yang
serakah. Karena keserakahan para pejabatnya, negara lalai dengan tugas
pokoknya: menyejahterakan rakyat.

Kekayaan alam yang melimpah ruah itu dikuras, diekploitasi, untuk
memperkaya diri sendiri. Padahal, sekali lagi, dalam UUD 1945, Pasal
33 ayat (3) tertulis dengan jelas bahwa "bumi dan air, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebenar-besar kemakmuran rakyat."

Kondisi anak Indonesia, data terakhir menunjukkan, kesehatannya
tergolong rendah dibandingkan negara-negara ASEAN lain seperti
Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam, dan
Vietnam. Itulah kenyataan yang harus kita terima. Dalam laporan Indeks
Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan Program
Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Development
Program), peringkat Indonesia terus merosot

Kita tahu, faktor terpenting yang menentukan peringkat itu adalah
menyangkut kesejahteraan ekonomi. Kemiskinan di negeri ini bukan hanya
di Sumatera Barat. Kemiskinan sudah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya
di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Bahkan kemiskinan di kota lebih
parah daripada kemiskinan di desa. Karena di desa meskipun miskin
biasanya masih punya rumah. Kalau rumah tidak ada pun udara masih
bersih, air relatif bersih, daun Perancih di pagar-pagar rumah dan
pekarangan masih ada ada untuk direbus dan dijadikan lauk.

Tapi kalau kota, dari pemukimannya saja dianggap tidak legal, kegiatan
ekonomi juga informal. Air bersih harus dibeli, udara kotor, tempatnya
desak-desakan. Pekerjaan orang-orang miskin itu, di hampir semua
peraturan pemerintah kota dianggap tidak legal, karena dianggap
mengusik ketertiban, mengganggu keamanan.

Padahal mereka tidak bodoh. Kalaupun bodoh, tentu bukan karena mereka
lahir terus bodoh. Tetapi ada satu sistem pengaturan yang membuat
mereka tidak bisa menyerap pendidikan yang baik untuk dirinya. Ada
satu struktur atau satu sistem yang membuat sekian banyak orang
menjadi secara ekonomi terpinggirkan, secara politik juga terpinggirkan.

Padahal, sumber kekayaan alam kita begitu kaya. Tapi ada di tangan
sedikit orang dengan didukung peraturan yang timpang. Inilah yang
semakin memperkokoh kemiskinan struktural. Hak dan kewenangan untuk
membuat kebijakan hanya ada di tangan sedikit orang, dan tujuannya
untuk kepentingan dirinya bukan pada kepentingan mayoritas rakyat.

Dari turun-temurun, sudah berlangsung beberapa abad, ada komunitas
yang memiliki hukum adat dalam mengelola kekayaan alam. Tiba-tiba ada
kebijakan dari Pemerintah menyatakan hak pengusahaannya ada di
perusahaan yang dimiliki sedikit orang. Maka, kekayaan alam yang
begitu luas, begitu gampang dikuasai sekelompok orang, dirampas dari
komunitas masyarakat. negeri yang kaya, gagal menjalankan tugasnya
karena ulah para pejabatnya yang tak becus memimpin. Negeri ini
menjadi terpuruk seperti sekarang.

Untuk itu, dibutuhkan orang yang bersih menjadi pemimpin. Tapi, para
pemimpin yang bersih banyak yang tidak mau karena melihat tidak
mungkin kebobrokan ini bisa diberesi. Kalaupun mau, rakyat tidak
memilihnya. Deraan kemiskinan dan kesulitan mencari uang yang halal
membuat rakyat bersikap pragmatis dalam meniti kehidupannya, termasuk
dalam memilih Presiden,Gubernur, Bupati ataupun Walikota. Yang menjadi
pertimbangan rakyat dalam memilih mereka bukan karena bersihnya, tapi
karena penampilannya, karena janji-janjinya untuk menyediakan
kebutuhan hidup yang dihadapi rakyat sehari-hari.

Siapa pun yang menginginkan negeri ini jauh dari malapetaka
kemiskinan. harus ikut bahu membahu memberantas korupsi, membersihkan
diri sendiri, keluarga, dan masyarakat sekitarnya, dari
penyekit-penyakit kotor yang menyengsarakan rakyat. Para pejabat
negara, dari Presiden, Gubernur hingga Wali Nagari harus diingatkan
bahwa tugas pokoknya adalah menyejahterakan rakyat yang dipimpinnya
bukan memburu dan merazia masyarakat miskin dan melarat. Keserakahan
penguasa, sebagian pengusaha, dan mungkin juga diri kitalah yang
membuat sebagian besar rakyat semakin melarat, dan tak berdaya dalam
kemiskinan.
Title : Kemiskinan Salah Siapa ?
Description : Beberapa waktu lalu, kita dikagetkan oleh berita yang cukup mengenaskan. Pemerintah kota Padang melakukan razia terhadap pengemis dan anak j...

0 Response to "Kemiskinan Salah Siapa ?"

Post a Comment

Powered by Blogger.