PRINSIP PEDAGOGI DAN ANDRAGOGI
DALAM PEMBELAJARAN[1]
(B.S.Sidjabat, Ed.D)
Pengantar
Mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi pada jenjang program diploma atau sarjana umumnya berusia antara 18-24 tahun. Ahli psikologi perkembangan mengkategorikan kelompok usia ini sebagai dewasa awal (early adults). Gormly & Brodzinski menyatakan bahwa pada usia ini orang muda memasuki periode pengambilan keputusan, dapat dianggap sudah dewasa namun belum mengambil banyak peran orang dewasa. “Youth age is an ‘optional’ period of development in which an individual is legally an adult but has not yet undertaken adult work and roles,” demikian dituliskan (1993:396). Newman & Newman (1987) mengemukakan sejumlah tugas perkembangan kelompok usia ini antara lain:
* autonomy from parents;
* sex roles identity;
* internalized morality;
* career choice;
* role experimentation;
* individual idenity versus identity confusion;
* work.
Sebagai orang dewasa cara belajar mahasiswa berbeda dengan cara belajar anak usia Sekolah Dasar (6-12 tahun). Cara berpikir mahasiswa tidak lagi bersifat “operasional-konkrit” tetapi sudah memasuki tahap “formal operational,” sehingga mampu berpikir hipotesis, kritis, reflektif dan konstruktif. Tujuan belajar mahasiswa pun pada umumnya lebih jelas yakni mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja, atau mengembangkan karir di masa depan sesuai dengan potensi dan bakat serta minatnya. Pengalaman belajar masa lalu serta pengalaman kehidupan masa kini juga lebih tampak menyertai dan mempengaruhi kegiatan belajar yang ditempuhnya.
Setelah melakukan studi yang intensif mengenai berbagai aspek dan teori belajar orang dewasa, Merriam & Caffarella (1999) mengakui bahwa cara belajar orang dewasa memang berbeda dengan cara belajar anak-anak.
“…that learning in adulthood can be distinguished from childhood in terms of learner, the context, and to some extent the learning process. Furthermore, it is not just that differences can be seen in these areas. Equally important, the configuration of learner, context, and process together makes learning in adulthood distinctly different from learning in childhood…”(p. 389).
Tugas perguruan tinggi bukan hanya menyampaikan pengetahuan (to inform) kepada mahasiswa untuk dihafalkan dan dilestarikan. Perguruan tinggi juga bertujuan membentuk mahasiswa menjadi pribadi dan komunitas yang mampu berpikir kritis, memahami dirinya, mengembangkan potensi dirinya, sehingga kompeten dalam memecahkan masalah kehidupan yang sedang di hadapi dan di dalam tugas-tugas masa depan. Pengajaran, riset dan pengabdian kepada masyarakat telah menjadi tiga tugas utama perguruan tinggi di Indonesia. Prof. Semiawan (1999) mengemukakan bahwa jika perguruan tinggi hendak membawa pembaruan hidup di tengah masyarakat maka strategi pembelajarannya haruslah kreatif guna membentuk mahasiswa yang mandiri dan memahami keutuhan dirinya. Wibowo & Tjiptono (2002) mencatat pandangan sejumlah pengajar bahwa perguruan tinggi harus merupakan arena pembentukan kompetensi mahasiswa, yang mampu mengkonstruksi pengetahuan, nilai dan keterampilan dalam rangka membawa pembaruan bagi masyarakatnya. Dalam dunia perguruan tinggi, mahasiswa harus aktif, bukan pasif sebagai penerima pengetahuan guru dan buku sumber.
Jika perguruan tinggi mendidik dan mengajar mahasiswa dewasa maka pendekatannya haruslah sesuai dengan karakteristik mereka. Orang dewasa harus dibimbing dengan pendekatan belajar orang dewasa pula. Sejauh ini sudah banyak teori pembelajaran orang dewasa dikemukakan para ahli. Stephen D. Brookfield (1986) misalnya, mengemukakan konsep self-directed learning yang harus menjadi ciri dan sifat serta tujuan pendidikan di kalangan orang dewasa. Lebih jauh dikemukakannya bahwa kalau orang dewasa hendak maju dalam kegiatan belajarnya, maka diperlukan enam prinsip mendasar yaitu: 1) voluntary participation; 2) mutual respect; 3) collaborative spirit; 4) action and reflection (praxis); 5) critical reflection; dan 6) self direction (pp. 11-20).
Tokoh lain, Jack Mezirow, mengusulkan pendekatan transformational atau emansipatoris. Menurut Cranton (1994) Mezirow memandang bahwa orang dewasa harus dimampukan untuk berpikir kritis dan mengevaluasi diri, mampu merevisi asumsi-asum lamanya dan pemahaman baru serta sudut pandang yang baru, agar sanggup melakukan tugas di dalam konteks sosialnya. Mezirow membangun konsepnya tentang pembelajaran orang dewasa berdasarkan penilitian terhadap 80-an ibu-ibu rumah tangga di Amerika yang kembali studi di perguruan tinggi. Dalam rangka personal transformation, Mezirow mengamati sejumlah tahapan yang lazim dilalui orang dewasa dalam kegiatan belajarnya, antara lain: 1) mereka perlu mengalami dilemma disorientasi; 2) melakukan pengujian diri sendiri; 3) menyimak bagaimana orang lain juga bergumul seperti dirinya; 4) menelusuri langkah baru dalam bersikap dan bertindak; 5) membangun kompetensi diri; merencanakan tindakan; dan 6) menjadi satu dengan masyarakat dengan cara pandang baru yang dimiliki.
Pedagogi dan andragogi
Salah satu teori belajar dan pembelajaran orang dewasa yang cukup terkenal adalah gagasan andragogi dari Malcom S. Knowles (1913-1997). Pada tahun 1970 Knowles membedakan cara mengajar kepada anak yang disebut pedagogi dengan cara mengajar kepada orang dewasa yang dinamakan andragogi. Knowles berkeyakinan bahwa cara orang dewasa belajar sangat berbeda dengan cara anak belajar. Menurut Knowles, pedagogi berasal dari istilah Yunani paid (anak) dan agogus (membimbing); sementara andragogi dari istilah Yunani aner, andr (orang dewasa) dan agogus( pembimbing). Pedagogy means specifically “the art and science of teaching children” while andragogy “is the art and science of helping adults learn.” (1970:37,38). Dalam pemahaman Knowles, untuk membina peserta didik dewasa cara mengajar untuk anak tidak berlaku lagi, atau haruslah ditinggalkan. Sebenarnya Knowles mengembangkan konsep belajar orang dewasa yang sebelumnya dibangun oleh Edward Lindeman (1885-1953) dalam karyanya The Meaning of Adult Learning.
Akan tetapi di tahun 1980 Knowles[2] merubah pemahamannya bahwa pedagogi dan andragogi tidak harus dipertentangkan, tetapi saling melengkapi dalam pendidikan orang dewasa. Pembelajaran orang dewasa menurut Knowles bahkan dapat bertolak dari pedagogi kepada andragogi. Tentang cara belajar orang dewasa, Knowles memiliki asumsi sebagai berikut:
1- Orang dewasa perlu dibina untuk mengalami perubahan dari kebergantungan kepada pengajar kepada kemandirian dalam belajar. Orang dewasa mampu mengarahkan dirinya mempelajari sesuai kebutuhannya.
2- Pengalaman orang dewasa dapat dijadikan sebagai sumber di dalam kegiatan belajar untuk memperkaya dirinya dan sesamanya.
3- Kesiapan belajar orang dewasa bertumbuh dan berkembang terkait dengan tugas, tanggung jawab dan masalah kehidupannya.
4- Orientasi belajar orang dewasa harus diarahkan dari berpusat pada bahan pengajaran kepada pemecahan-pemecahan masalah.
5- Motivasi belajar orang dewasa harus diarahkan dari pemberian pujian dan hukuman kepada dorongan dari dalam diri sendiri serta karena rasa ingin tahu.
Berdasarkan tulisannya di tahun 1993 perbedaan asumsi pedagogi dan andragogi yang dikemukakan Knowles itu dapat dikemukakan sebagai berikut:
ASSUMSI DASAR
Tentang
Pedagogis
Andragogis
Konsep diri peserta didik Pribadi yang bergantung kepada gurunya Semakin mengarahkan diri (self-directing)
Pengalaman peserta didik Masih harus dibentuk daripada digunakan sebagai sumber belajar Sumber yang kaya untuk belajar bagi diri sendiri dan orang lain
Kesiapan belajar peserta didik Seragam (uniform) sesuai tingkat usia dan kurikulum Berkembang dari tugas hidup & masalah
Oriensi dalam belajar Orientasi bahan ajar (subject-centered) Orientasi tugas dan masalah (task or problem centered)
Motivasi bbelajar Dengan pujian, hadiah, dan hukuman Oleh dorongan dari dalam diri sendiri (internal incentives, curiosity)
Knowles (1993) juga melihat perbedaan proses pembelajaran orang dewasa dengan anak-anak dalam tujuh aspek utama, yaitu suasana, perencanaan, diagnosa kebutuhan, penentuan tujuan belajar, rumusan rencana belajar, kegiatan belajar dan evaluasinya.
UNSUR-UNSUR PROSES
Suasana Tegang, rendah dalam mempercayai, formal, dingin, kaku, lambat, orientasi otoritas guru, kompetitif dan sarat penilaian. Santai, mempercayai, saling menghargai, informal, hangat, kerjasama, mendukung.
Perencanaan Utamanya oleh guru Kerjasama peserta didik dengan fasilitator
Diagnosa kebutuhan Utamanya oleh guru Bersama-sama: pengajar dan peserta didik.
Penetapan tujuan Utamanya oleh guru Dengan kerjasama dan perundingan
Desain rencana belajar * Rencana bahan ajar oleh guru* Penuntun belajar (coursesyllabus) dibuat guru.* Sekuens logis (logical sequence)pembelajaran oleh guru. * Perjanjian belajar (learningcontracts)* Projek belajar (learningprojects)* Urutan belajar atas dasarkesiapan (sequenced by
readiness)
Kegiatan belajar * Tehnik penyajian (transmittaltechniques)* Tugas bacaan (assigned readings) * Projek untuk penelitian(inquiry projects)* Projek untuk dipelajari(learning projects)* Tehnik pengalaman(experiential techniques)
Evaluasi belajar * Oleh guru* Berpedoman pada norma (on acurve)* Pemberian angka * Oleh peserta didik berdasarkan evidensi yang dipelajari oleh rekan-rekan, fasiltator, ahli. (by learner-collected evidence validated by peers, facilitators, experts).* Referensinya berdasarkan criteria (criterion-referenced)
Kebutuhan peserta didik harus diperhatikan
Andragogi mengsumsikan bahwa orang dewasa belajar dengan efektif apabila kebutuhannya dikenali dan dipenuhi. Vlodkowski (1986) mengemukakan bahwa teori kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow yakni: physiological needs, safety needs, love and belogingness needs, esteem needs, dan self actualization needs, harus dipertimbangkan oleh pengajar di dalam merencanakan dan mengelola kegiatan belajar bersama orang dewasa.
Pengikut Knowles lainnya, Jane Vella (1993), menegaskan bahwa analisis kebutuhan harus menempati urutan pertama dalam kegiatan pembelajaran orang dewasa supaya terjadi relevansi dan makna. Memahami dan mengenali kebutuhan dari siapa yang akan mengikuti kegiatan belajar, menurut Vella, akan menentukan langkah dalam menentukan alasan, tujuan, isi, tempat dan proses pembelajaran. Vella mengusulkan interview dengan anggota kelompok atau yang mewakilinya dapat memberi masukan tentang minat dan kebutuhan belajar.
Sementara itu Knowles (1980) melihat ada dua jenis kebutuhan peserta didik, yaitu kebutuhan pribadi dan kebutuhan pendidikan. Kebutuhan pribadi itu adalah:
1. Physical needs - to see, to hear, to be comfortable, for rest at a minimum.
2. Growth needs - they are development in knowledge, understanding, skills, attitudes,
interests and appreciation. When people are aware of having new competencies they are motivated to learn.
3. The need for security - protection against threat to healthy self-respect and self-image. “It
is this need that motivates people to be coutious and reserved in a strange setting.” (p. 85). When this need is not met people may withdraw from participating in learning, or they may protect themselves by taking over, controlling and dominating.
4. The need for new experience - adventure, excitement, and risk; new friends, new ways of
doing things and new ideas. New experience brings people to find new friends, new interests, new ideas and new thing to do their tasks. “People tend to become bored with too much routine, too much security. When their need for new experience is frustrated, they tend to develop such behavioral symptoms as restlessness, irritability, impulsiveness, or indifference.” (p. 85).
5. The need for affection or social needs - close relationship with people who will listen to
ideas and feelings, as well as expectations. When people realized they are liked by others, they are motivated for self sacrifice, and cause them to cooperate with those with similar interests and needs.
6. The need for recognition - the need to have status, position in group; the need to be
admired, or respected by people for what one’s is doing (pp.84-87).
Kebutuhan pendidikan menurut Knowles ialah kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki peserta didik dengan kompetensi yang seharusnya dituntut oleh masyarakat atau lapangan kerja. Kesenjangan itulah yang harus dipenuhi melalui kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Pengetahuan apa yang dibutuhkan oleh peserta didik? Seberapa banyak pengetahuan yang dibutuhkan itu? Sikap dan nilai hidup apa yang diperlukannya? Kompetensi kepribadian, kecakapan dan keterampilan apa yang dibutuhkan untuk menunaikan tugasnya? Kalau kesenjangan kompetensi itu tidak diketahui, atau diabaikan, maka kegiatan belajar menjadi tidak relevan dengan kebutuhan peserta didik.
Disamping itu, Knowles mengemukakan adanya minat (interest) yang dibawa peserta didik ke dalam kegiatan belajarnya. Minat itu terkait dengan hal-hal yang disukai (liking) atau pereferensi (preference). Minat peserta didik jelas dapat berubah karena berbagai faktor yang mempengaruhi. Minat itu dapat saja terkait dengan dunia seni, olah raga, keagamaan, keterampilan tehnik, keterampilan sosial, dan kepribadian.
Menurut Knowles, ada banyak cara pengajar dan intitusi pendidikan untuk mengetahui kebutuhan dan minat peserta didiknya, antara lain:
1- From the individual themselves - through interviews, group discussions or questionnaire: projective questionnaire or sentence-completion questionnaire.
2 - From people in “helping roles” with individuals: konselor; tokoh agama; rohanian; wali mahasiswa; sponsor.
3 - From the mass media.
4 - From the professional literature: psikologi, sosiologi, antropologi, politik.
5 - From organizational and community surveys (1980: 93-100).
Menurut pemahaman saya, perkara lain yang patut diketahui para pengajar mengenai peserta didiknya ialah gaya belajar mereka. David Kolb, salah satu dari sejumlah teori di bidang ini, mengemukakan empat jenis gaya belajar. Kolb membangun konsep itu berdasarkan asumsi bahwa di dalam kegiatan belajar orang melibatkan empat aspek yaitu pikiran (konseptualisasi abstrak); perasaan (pengalaman konkrit); pengamatan (observasi reflektif); dan perbuatan (eksperimentasi aktif). Setiap individu menurut Kolb hanya mempunyai kecenderungan mengkombinasikan dua cara atau aspek, dan sebab itu muncullah empat jenis gaya belajar yakni: the assimilator; the accommodator; the diverger; dan the converger (Nasution, 1988:111-115). The assimilator, membentuk pemahamannya dengan cara konseptualisasi abstrak (pemikiran, logika) dan observasi (pengamatan) reflektif. The accommodator, meningkatkan kompetensi dirinya dengan eksperimentasi aktif (apa yang telah dan sedang dikerjakan; tugas-tugas) dan pengalaman konkrit (nyata). The converger, membangun pengertiannya dengan cara berpikir atau konseptualisasi abstrak dan eksperimentasi aktif. The diverger, membangun pengetahuannya dengan pengalaman konkrit dan pengamatan reflektif.
Cara lain memahami gaya belajar itu ialah dari pendekatan neuropsychology. DePorter & Hernacki (1992) mengemukakan bahwa menurut konsep ini manusia memiliki dua belahan otak, yakni otak kiri dan otak kanan yang fungsinya berbeda. Otak kiri merupakan tempat orang berpikir secara logis, berpikir linear, sistematik, tatabahasa, kalkulasi. Dengan belahan otak kanan orang merasakan, bekerja secara random (acak), menyukai irama, memahami ruang (space) dan gerak. Selain itu, orang menyusun persepsinya dengan dua cara, yakni: abstrak (ide, konsep) dan konkrit (contoh nyata, tindakan). Kombinasi dari dua aspek ini melahirkan empat gaya berpikir atau gaya belajar yakni:
1) Sekuensial Konkrit (SK) - dominasi otak kiri dengan persepsi konkrit - mengutamakan petunjuk kerja yang jelas; berpikir logis dan sistematis; juga praktis; serta cenderung bekerja sendirian (individual).
2) Sekuensial Abstrak (SA) - dominasi otak kiri dengan persepsi abstrak - teoritis, konseptual, menyukai gagasan sehingga kurang praktis; juga cenderung bekerja sendirian (individual).
3) Acak Konkrit (AK) - dominasi otak kanan dengan persepsi konkrit - membangun pemahaman bertolak dari evidensi, kenyataan; tidak menyukai hal-hal logis dan sistematis; atau lebih menuruti intuisi.
4) Acak Abstrak (AA) - dominasi otak kanan dengan persepsi abstrak - mengembangkan pemahaman bertolak dari suasana relasi; perasaan; kerjasama dengan orang; sulit di dalam menyusun gagasan secara logis dan sistematis.
Belakangan ini para ahli pendidikan mulai mencermati konsep multiple intelligence ahli pendidikan dari Universitas Harvard, Horward Gardner. Menurut Gardner (1993) kecerdasan manusia tidak patut hanya diukur dari kemampuan linguistic dan matematis atau logikanya sebagaimana selama ini dilakukan para ahli psikologi. Berdasarkan hasil risetnya yang dilakukan lintas budaya, Gardner melihat tujuh macam kecerdasan manusia yaitu: 1) linguistik; 2) musikal; 3) logiko-matematik; 4) kinestesik; 5) spasial; 6) natural; 7) personal (interpersonal dan intrapersonal). Thomas Amstrong (1999) adalah salah seorang sarjana yang merumuskan alat uji (test) dalam hal kercerdasan berganda dari Ganrner ini, serta mengemukakan implikasinya dalam pendidikan dan pembelajaran.
Bagaimana dengan penerapannya?
Menerapkan pembelajaran cara self directing untuk mahasiswa di Indonesia bukanlah perkara mudah. Mahasiswa di Indonesia umumnya bertumbuh dalam budaya hierarkhis, dimana orangtua, guru, tokoh agama dipandang sebagai nara sumber utama dalam menambah pengetahuan. Sebab itu, mereka bergantung kepadanya. Sikap mental kemandirian kurang dikembangkan dalam keluarga dan sekolah di tanah air. Karena itu, ketika peserta didik belajar di pergurun tinggi sekalipun mereka masih merasa harus digurui oleh pengajaranya, lebih cenderung mendapatkan petunjuk lengkap guna menyelesaikan studinya.
Kebanyakan pengajar juga bersikap demikian, yakni memandang tugasnya hanya mengajarkan informasi yang diketahui kepada peserta didiknya. Mereka mengikuti tradisi pembelajaran pedagogi yang pernah dilaluinya. Pada umumnya pengajar malah senang jika peserta didik menerima saja apa yang dikemukakannya, atau dianggap keliru apabila bila murid mempunyai pandangan berbeda. Hal demikian menyulitkan penerapan prinsip andragogoi dalam pembelajaran.
Dalam rangka membina peserta didik menjadi manusia dewasa, menurut hemat saya kedua pendekatan di atas dapat saja kita pergunakan. Saling melengkapi. Knowles (1993) bahkan menyatakan bahwa jika murid sama sekali baru dalam apa yang akan dipelajari, maka diperlukan pendekatan pedagogi. Artinya, pengajar harus memberikan informasi dasar terlebih dahulu. Dalam hal itu murid sangat bergantung kepada kualitas guru dalam mengajar dan memberikan penjelasan. Akan tetapi, setelah peserta didik mendapatkan pengetahuan yang memadai, maka mereka harus dimotivasi untuk mengembangkan studinya secara mandiri atau bersama dengan kelompoknya. Studi kasus, pemecahan masalah, penyelesaian projek dapat membantu pengembangan kemandirian diri mereka itu.
Dalam sebuah kegiatan kuliah, pengajar dapat saja memberikan garis besar perkuliahan selama pertengahan semester atau dalam enam minggu pertama. Setelah mengevaluasi rencana dan kegiatan yang ditempuh, untuk enam minggu berikutnya, pengajar dapat memotivasi peserta didik untuk melakukan studi mandiri atau berkelompok dan mereka menjadi sumber belajar. Kasus-kasus atau topik untuk disajikan dapat dirundingkan bersama-sama (peer group learning). Penilaian dari kegiatan itu harus jelas, supaya nilai akhir kegiatan studinya tidak bergantung kepada ujian tengah semester atau ujian akhir semester belaka, tetapi porsi tugas dan studi mandiri lebih diperbesar. Dalam perkataan lain, prinsip akuntabilitas dari pengajar dibutuhkan.
Dalam rangka membantu peserta didik untuk mengalami perkembangan ke arah andragogi, yang sangat diperlukan adalah keterampilan belajar (learning how to learn). Peserta didik yang tidak mempunyai keterampilan belajar mempunyai kecenderungan bergantung kepada pengajarnya atau kepada sesama peserta didik lainnya. Adalah baik dan bijak apabila pengajar memberi waktu untuk mendiskusikan cara-cara belajar efektif dalam mengembangkan mata kuliah atau bidang studi yang diampunya. Cara lain, pengajar menugaskan mahasiswa mengikuti lokakarya cara belajar efektif atau membaca buku petunjuk praktis seperti terkait dengan cara berpikir, membaca cepat, melakukan riset, merancang gagasan dan menyusunnya.
Selain itu, pengembangan pribadi dalam hal percaya diri (self-concept), perlu mendapatkan perhatian pengajar. Peserta didik yang kurang percaya diri enggan untuk bekerja dengan kemampuan dirinya, melainkan menggantungkan diri kepada bantuan orang lain. Mahasiswa dengan konsep diri rendah tidak mampu melihat potensi dirinya secara benar, sehingga mungkin dilanda perasaan tidak berdaya dan minder, atau sebaliknya merasa diri pintar padahal tidak demikian. Penanaman konsep dan sikap bahwa mereka mampu sebagai sumber belajar, patut ditekankan dan diteladankan oleh pengajar.
Mengakhiri uraian ini saya mengemukakan gagasan praktis dari Jane Vella (1994) yang telah mengembangkan gagasan Malcom Knowles di atas dalam kegiatan pembelajaran yang dikelolanya. Vella membuktikan bahwa prinsip andragogi di atas tidak saja berlaku untuk masyarakat di Amerika, tetapi juga di Afrika, Nepal, Indonesia dan berbagai tempat lainnya. Vella pun menegaskan bahwa prinsip andragogi tidak saja dapat dioperasionalkan dalam pembelajaran informal di luar sekolah atau kampus, tetapi juga di dalam konteks formal perguruan tinggi. Saya melihat Vella mengusulkan dua belas prinsip penting di dalam mengelola kegiatan belajar bersama orang dewasa.
1 - Agar pengajar melakukan analisis kebutuhan (need assesment) peserta didik sebagai langkah awal untuk berdialog dengan mereka. Pengajar dapat memilih sejumlah wakil dari kelompok besar untuk memberikan informasi mengenai kebutuhan peserta didik, selain memberikan questionnaire kepada semua anggota.
2 - Agar pengajar menciptakan suasana nyaman (safety) ketika berinteraksi dengan peserta didik; dengan jalan tetap hargai pendapat mereka dan melakukan koreksi; juga mendengarkan isi hati mereka, kebingungan, kegelisahan dan sejenisnya. Istilah safety lebih terkait kepada aspek psikologis.
3 - Agar pengajar terus membina hubungan akrab dengan peserta didik di dalam ruangan atau di luarnya dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya mereka. Hubungan yang bersahabat antara guru dengan peserta didik harus mendapat tempat utama dalam kegiatan pembelajaran. Pengajar harus sadar bahwa ia tidak saja mengajarkan sesuatu kepada peserta didiknya, tetapi ia melakukan tugas pembelajaran diantara dan bersama mereka.
4 - Agar pengajar membawa peserta didik bertolak dari hal-hal sederhana kepada yang lebih kompleks; sequence pembelajaran harus jelas dari yang paling mudah kepada yang lebih bahkan sangat sukar. Ketika berhasil menguasai sebuah langkah ataupun konsep, pengajar patut menyatakan penghargaan bagi peserta didiknya, untuk menyiapkan atau tepatnya memotivasi mereka ke tugas berikutnya.
5 - Agar pengajar benyak melakukan aktivitas refleksi atas tindakan, atas kasus, atas simulasi sosial, atau atas tayangan yang disaksikan. Menurut Vella, kita dapat mengajukan empat pertanyaan untuk dipertimbangkan:
a) Apa yang Anda lihat terjadi (deskripsi)?
b) Mengapa hal itu terjadi (analisis)?
c) Jika hal itu terjadi dalam situasi Anda, apa penyebabnya (aplikasi)?
d) Apa yang dapat kita lakukan terhadap hal itu (implementasi)?
6 - Agar pengajar memandang peserta didik sebagai subjek dalam kegiatan belajar. Mereka bukan sebagai objek kosong yang harus dipenuhi informasi. Jika mereka diperlakukan sebagai subjek, maka pandangan, perasaan, sikap, opini mengenai bagaimana cara belajarnya yang tepat untuk mencapai hasil harus didengarkan dan difasilitasi. Peran pengajar bersama orang dewasa lebih berupa fasilitator pembelajaran.
7 - Agar pengajar senantiasa melibatkan dan menyentuh pikiran, perasaan dan sikap serta perbuatan peserta didik dalam aktivitas pembelajaran. Peserta didik tidak datang ke dalam perjumpaan bersama guru dengan membawa tubuh dan pikiran belaka, tetapi juga menghadirkan perasaan dan sikap.
8 - Agar apa yang dipelajari oleh peserta didik harus memiliki manfaat, relevan dengan hidup atau tugas sehari-hari. Walaupun yang dipelajari peserta didik hal-hal bersifat abstrak dan konseptual, namun pengajar dapat mengkaitkannya dengan situasi praktis atau dengan tugas dan tanggung jawab sehari-hari. Kalau orang dewasa melihat apa yang tengah dipelajari membawa manfaat, motivasi mereka berkembang.
9 - Agar pengajar mengembangkan dialog dalam pembelajaran, jika tidak demikian maka peran guru sebagai pengajar segera lenyap. Dialog menghendaki relasi kesahabatan juga kesediaan pengajar untuk menjadi satu level dengan peserta didiknya memperbincangkan masalah yang mereka hadapi.
10- Agar pengajar membangun kerjasama diantara peserta didik dalam kelompok kecil (team work). Peran guru memfasilitasi dan memotivasi agar kelompok bekerja dengan optimal. Menurut hemat saya ini cocok dengan pola hidup orang di Indonesia, lebih termotivasi belajar bersama rekan-rekan yang mengenal, memahami, menerima, membangunnya.
11 - Keterlibatan (engagement) guru dalam kegiatan belajar bersama peserta didik membangun semangat belajar mereka. Belajar sebagai sebuah tindakan aktif dan keterlibatan. Kalau pengajar menugaskan sebuah kasus kepada kelompok kecil, ia juga harus terlibat bersama salah satu kelompok itu.
12 - Prinsip akuntabilitas merupakan kunci sukses belajar dan mengajar. Design pembelajaran seperti silabus harus terbuka kepada peserta didik, dapat distruktur ulang untuk mencapai tujuan. Apa yang disepakati untuk dilakukan mestilah dilaksanakan. Kegagalan maupun keberhasilan belajar dinyatakan secara terus terang namun bijaksana.
Wacana akhir
Dalam konteks pendidikan teologi seperti di Institut Alkitab Tiranus, banyak mahasiswa yang belajar sudah mempunyai pengalaman melayani di dalam atau bersama dengan gereja. Seharusnyalah pengalaman mereka itu dapat dijadikan sumber dan sarana di dalam kegiatan belajar, sehingga apa yang dipelajari menjadi menyenangkan dan bermakna. Memperlakukan mereka ibarat “botol kosong” yang harus diisi dengan informasi yang diketahui oleh pengajar, belum tentu relevan dengan kebutuhan individual dan kebutuhan pendidikan mereka. Mungkin mereka conformed saja kepada nilai-nilai dan pengetahuan pengajarnya supaya lulus dan memperoleh gelar, tetapi tidak mengalami trnasformasi.
Memang, cukup banyak peserta didik yang “masih hijau” dengan disiplin ilmu teologi. Karena itu, pendekatan pedagogi tetap berguna dalam membimbing mereka hingga mampu mengembangkan diri untuk mendalami studi yang ditempuhnya. Keterampilan pengajar di dalam memotivasi peserta didik, dalam menjelaskan, menyingkapkan, menelusuri buku sumber bersama-sama, semuanya dibutuhkan. Pemahaman dan keterampilan dasar mestilah dikuasai olejh peserta didik. Akan tetapi, pendidik teologi harus selalu ingat bahwa tugas mereka yang utama ialah membuka jalan supaya peserta didik aktif di dalam kegiatan belajarnya.
Pendidikan dalam konteks sekolah tinggi teologi, sudah seharusnya bertolak dari mengajar kepada belajar (from teaching to learning). Mungkin sekali guru merasa sudah mengajar dengan segala usaha, namun melihat peserta didiknya tetap “bodoh” dalam arti tidak mampu mengikuti gaya berpikir sang guru karena tidak mampu menjawab kuis atau pertanyaan kognitif yang diajukan. Guru demikian merasa sudah mengajar dari pihaknya, tetapi belum memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar dalam diri peserta didik. Mungkin saja ketika guru mengajar, mereka merasa tidak nyaman, dan berusaha sekuat tenaga menjadi tertib supaya tidak dicap pemberontak atau pembangkang. Padahal, mereka belum belajar, sebab gaya belajar dan pengalaman serta pemahaman mereka tidak ikut serta di dalam perbuatan atau proses itu. Interaksi dialogis yang tidak bertumbuh dan berkembang membuat kegiatan mengajar kurang kreatif dan konstruktif. Mengajar haruslah kita maknai sebagai perbuatan dan memotivasi membantu, memfasilitasi peserta didik untuk belajar. Dialog dan diskusi mewarnai aktivitas belajar yang penuh makna dan menyenangkan.
Jika kita menyimak keterangan kitab Injil, Tuhan Yesus mengajar dan melatih para murid-Nya dengan pendekatan andragogi sebagaimana dikemukakan di atas. Pengalaman mereka dijadikan sarana dan bahan pembelajaran. Seringkali ajaran Yesus bertolak dari pertanyaan, masalah yang diajukan dan dialami para murid. Kotbah di Bukit misalnya, diucapkan Yesus setelah menyimak, melihat orang banyak yang datang kepada-Nya. Yesus mendengarkan mereka, kemudian menjawab apa yang diungkapkan. Lebih dari itu Dia mengetahui isi hati mereka. Tuhan Yesus juga menekankan kebersamaan dengan murid-murid-Nya. Kehadiran-Nya dalam rumah, dalam ruang, dalam tugas, juga dalam persoalan yang dihadapi para murid, membawa perubahan besar. Yesus Guru Agung berkuasa di dalam mengajar tetapi tidak menjadi otoriter (bd. Mat 7:27-28). Prinsip inkarnasi selalu tampak di dalam melaksanakan tugas-Nya, Dia “mengosongkan diri” dan “menjadi serupa” dengan mereka yang dibina-Nya.
Daftar Bacaan:
Amstrong, Thomas (1999). Seven Kinds of Smart. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Arif, Zainudin (1986). Andragogy. Bandung: Penerbit Angkasa.
Brookfield. Stephen D (1986). Understanding and Facilitating Adult Learning. Milton Keynes: Open University Press.
Cranton, Patricia (1994). Understanding and Promoting Transformative Learning:A Guide for Educators of Adults. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
DeProter, Bobbi., Mike Hernacki (1992). Quantum Learning. Bandung: Penerbit KAIFA.
Gardner, Howard (1993). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Basic Books.
Gormly, Anne V., David M. Brodzinsky (1993). Lifespan Human Development. 5th edition. Tokyo: Harcourt Brace Collage Publishers.
Knowles, Malcom S. (1993), “Contributions of Malcom Knowles,” in The Christian Handbook on Adult Education eds. K.O.Gangel & James C. Wilhoit. Victor Books. Pp. 91-103.
Knowles, Malcom S. (1970). The Moderns Practice of Adult Education: Andragogy Versus Pedagogy. New York: Association Press.
Knowles, Malcom S. (1980). The Modern Prcatice of Adult Education: From Pedagogy to Andragogy. N.Y.: Cambridge, The Adult Education Company.
Lunandi, A.G. (1984). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Merriam, Sharan B., Rosemary S. Caffarella (1999). Learning in Adulthood. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Nasution S (1988). Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Penerbit PT Bina Aksara.
Newman, Barbra M., Philip R Newman (1987). Development Through Life: A Psychosocial Approach. Chicago, ill.: The Dorsey Press.
Rogers, Alan (1986). Teaching Adults. Milton Keynes: Open University Press.
Semiawan, Conny R. (1999). Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
Suprijanto (2007). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Bumi Aksara.
Tamat, Tisnowati (1985). Dari Pedagogik Ke Andragogik Jakarta: Penerbit Pustaka Dian.
Wibowo, Alexander Jatmiko., Fandy Tjiptono, editor. (2002). Pendidikan Berbasis Kompetensi Diterbitkan Dalam Rangka Dies Natalis ke-37 Universitas Atma Jaya Yogyakarta Bekerjasama dengan Pusat Pemasaran Universitas UAJY.
[1] Awalnya sebagai rancangan bahan untuk International Conference on “Teaching and Learning in Higher Education for Developing Countries,” di Universitas Kristen Maranatha, Bandung, 28-29 Nopember 2007. Disajikan sebagai bahan diskusi bersama rekan-rekan dosen, dalam kelompk belajar bersama di Institut Alkitab Tiranus, Cihanjuang, Senin, 26 Nopember 2007.[2] Beberapa karya di tanah air yang memperkenalkan konsep andrgagogi dalam pendidikan adalah oleh Lunandi (1984); Tamat (1985); Arif (1986), dan baru-baru ini oleh Suprijanto (2007).
Sumber: http://www.tiranus.net/?p=20
DALAM PEMBELAJARAN[1]
(B.S.Sidjabat, Ed.D)
Pengantar
Mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi pada jenjang program diploma atau sarjana umumnya berusia antara 18-24 tahun. Ahli psikologi perkembangan mengkategorikan kelompok usia ini sebagai dewasa awal (early adults). Gormly & Brodzinski menyatakan bahwa pada usia ini orang muda memasuki periode pengambilan keputusan, dapat dianggap sudah dewasa namun belum mengambil banyak peran orang dewasa. “Youth age is an ‘optional’ period of development in which an individual is legally an adult but has not yet undertaken adult work and roles,” demikian dituliskan (1993:396). Newman & Newman (1987) mengemukakan sejumlah tugas perkembangan kelompok usia ini antara lain:
* autonomy from parents;
* sex roles identity;
* internalized morality;
* career choice;
* role experimentation;
* individual idenity versus identity confusion;
* work.
Sebagai orang dewasa cara belajar mahasiswa berbeda dengan cara belajar anak usia Sekolah Dasar (6-12 tahun). Cara berpikir mahasiswa tidak lagi bersifat “operasional-konkrit” tetapi sudah memasuki tahap “formal operational,” sehingga mampu berpikir hipotesis, kritis, reflektif dan konstruktif. Tujuan belajar mahasiswa pun pada umumnya lebih jelas yakni mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja, atau mengembangkan karir di masa depan sesuai dengan potensi dan bakat serta minatnya. Pengalaman belajar masa lalu serta pengalaman kehidupan masa kini juga lebih tampak menyertai dan mempengaruhi kegiatan belajar yang ditempuhnya.
Setelah melakukan studi yang intensif mengenai berbagai aspek dan teori belajar orang dewasa, Merriam & Caffarella (1999) mengakui bahwa cara belajar orang dewasa memang berbeda dengan cara belajar anak-anak.
“…that learning in adulthood can be distinguished from childhood in terms of learner, the context, and to some extent the learning process. Furthermore, it is not just that differences can be seen in these areas. Equally important, the configuration of learner, context, and process together makes learning in adulthood distinctly different from learning in childhood…”(p. 389).
Tugas perguruan tinggi bukan hanya menyampaikan pengetahuan (to inform) kepada mahasiswa untuk dihafalkan dan dilestarikan. Perguruan tinggi juga bertujuan membentuk mahasiswa menjadi pribadi dan komunitas yang mampu berpikir kritis, memahami dirinya, mengembangkan potensi dirinya, sehingga kompeten dalam memecahkan masalah kehidupan yang sedang di hadapi dan di dalam tugas-tugas masa depan. Pengajaran, riset dan pengabdian kepada masyarakat telah menjadi tiga tugas utama perguruan tinggi di Indonesia. Prof. Semiawan (1999) mengemukakan bahwa jika perguruan tinggi hendak membawa pembaruan hidup di tengah masyarakat maka strategi pembelajarannya haruslah kreatif guna membentuk mahasiswa yang mandiri dan memahami keutuhan dirinya. Wibowo & Tjiptono (2002) mencatat pandangan sejumlah pengajar bahwa perguruan tinggi harus merupakan arena pembentukan kompetensi mahasiswa, yang mampu mengkonstruksi pengetahuan, nilai dan keterampilan dalam rangka membawa pembaruan bagi masyarakatnya. Dalam dunia perguruan tinggi, mahasiswa harus aktif, bukan pasif sebagai penerima pengetahuan guru dan buku sumber.
Jika perguruan tinggi mendidik dan mengajar mahasiswa dewasa maka pendekatannya haruslah sesuai dengan karakteristik mereka. Orang dewasa harus dibimbing dengan pendekatan belajar orang dewasa pula. Sejauh ini sudah banyak teori pembelajaran orang dewasa dikemukakan para ahli. Stephen D. Brookfield (1986) misalnya, mengemukakan konsep self-directed learning yang harus menjadi ciri dan sifat serta tujuan pendidikan di kalangan orang dewasa. Lebih jauh dikemukakannya bahwa kalau orang dewasa hendak maju dalam kegiatan belajarnya, maka diperlukan enam prinsip mendasar yaitu: 1) voluntary participation; 2) mutual respect; 3) collaborative spirit; 4) action and reflection (praxis); 5) critical reflection; dan 6) self direction (pp. 11-20).
Tokoh lain, Jack Mezirow, mengusulkan pendekatan transformational atau emansipatoris. Menurut Cranton (1994) Mezirow memandang bahwa orang dewasa harus dimampukan untuk berpikir kritis dan mengevaluasi diri, mampu merevisi asumsi-asum lamanya dan pemahaman baru serta sudut pandang yang baru, agar sanggup melakukan tugas di dalam konteks sosialnya. Mezirow membangun konsepnya tentang pembelajaran orang dewasa berdasarkan penilitian terhadap 80-an ibu-ibu rumah tangga di Amerika yang kembali studi di perguruan tinggi. Dalam rangka personal transformation, Mezirow mengamati sejumlah tahapan yang lazim dilalui orang dewasa dalam kegiatan belajarnya, antara lain: 1) mereka perlu mengalami dilemma disorientasi; 2) melakukan pengujian diri sendiri; 3) menyimak bagaimana orang lain juga bergumul seperti dirinya; 4) menelusuri langkah baru dalam bersikap dan bertindak; 5) membangun kompetensi diri; merencanakan tindakan; dan 6) menjadi satu dengan masyarakat dengan cara pandang baru yang dimiliki.
Pedagogi dan andragogi
Salah satu teori belajar dan pembelajaran orang dewasa yang cukup terkenal adalah gagasan andragogi dari Malcom S. Knowles (1913-1997). Pada tahun 1970 Knowles membedakan cara mengajar kepada anak yang disebut pedagogi dengan cara mengajar kepada orang dewasa yang dinamakan andragogi. Knowles berkeyakinan bahwa cara orang dewasa belajar sangat berbeda dengan cara anak belajar. Menurut Knowles, pedagogi berasal dari istilah Yunani paid (anak) dan agogus (membimbing); sementara andragogi dari istilah Yunani aner, andr (orang dewasa) dan agogus( pembimbing). Pedagogy means specifically “the art and science of teaching children” while andragogy “is the art and science of helping adults learn.” (1970:37,38). Dalam pemahaman Knowles, untuk membina peserta didik dewasa cara mengajar untuk anak tidak berlaku lagi, atau haruslah ditinggalkan. Sebenarnya Knowles mengembangkan konsep belajar orang dewasa yang sebelumnya dibangun oleh Edward Lindeman (1885-1953) dalam karyanya The Meaning of Adult Learning.
Akan tetapi di tahun 1980 Knowles[2] merubah pemahamannya bahwa pedagogi dan andragogi tidak harus dipertentangkan, tetapi saling melengkapi dalam pendidikan orang dewasa. Pembelajaran orang dewasa menurut Knowles bahkan dapat bertolak dari pedagogi kepada andragogi. Tentang cara belajar orang dewasa, Knowles memiliki asumsi sebagai berikut:
1- Orang dewasa perlu dibina untuk mengalami perubahan dari kebergantungan kepada pengajar kepada kemandirian dalam belajar. Orang dewasa mampu mengarahkan dirinya mempelajari sesuai kebutuhannya.
2- Pengalaman orang dewasa dapat dijadikan sebagai sumber di dalam kegiatan belajar untuk memperkaya dirinya dan sesamanya.
3- Kesiapan belajar orang dewasa bertumbuh dan berkembang terkait dengan tugas, tanggung jawab dan masalah kehidupannya.
4- Orientasi belajar orang dewasa harus diarahkan dari berpusat pada bahan pengajaran kepada pemecahan-pemecahan masalah.
5- Motivasi belajar orang dewasa harus diarahkan dari pemberian pujian dan hukuman kepada dorongan dari dalam diri sendiri serta karena rasa ingin tahu.
Berdasarkan tulisannya di tahun 1993 perbedaan asumsi pedagogi dan andragogi yang dikemukakan Knowles itu dapat dikemukakan sebagai berikut:
ASSUMSI DASAR
Tentang
Pedagogis
Andragogis
Konsep diri peserta didik Pribadi yang bergantung kepada gurunya Semakin mengarahkan diri (self-directing)
Pengalaman peserta didik Masih harus dibentuk daripada digunakan sebagai sumber belajar Sumber yang kaya untuk belajar bagi diri sendiri dan orang lain
Kesiapan belajar peserta didik Seragam (uniform) sesuai tingkat usia dan kurikulum Berkembang dari tugas hidup & masalah
Oriensi dalam belajar Orientasi bahan ajar (subject-centered) Orientasi tugas dan masalah (task or problem centered)
Motivasi bbelajar Dengan pujian, hadiah, dan hukuman Oleh dorongan dari dalam diri sendiri (internal incentives, curiosity)
Knowles (1993) juga melihat perbedaan proses pembelajaran orang dewasa dengan anak-anak dalam tujuh aspek utama, yaitu suasana, perencanaan, diagnosa kebutuhan, penentuan tujuan belajar, rumusan rencana belajar, kegiatan belajar dan evaluasinya.
UNSUR-UNSUR PROSES
Suasana Tegang, rendah dalam mempercayai, formal, dingin, kaku, lambat, orientasi otoritas guru, kompetitif dan sarat penilaian. Santai, mempercayai, saling menghargai, informal, hangat, kerjasama, mendukung.
Perencanaan Utamanya oleh guru Kerjasama peserta didik dengan fasilitator
Diagnosa kebutuhan Utamanya oleh guru Bersama-sama: pengajar dan peserta didik.
Penetapan tujuan Utamanya oleh guru Dengan kerjasama dan perundingan
Desain rencana belajar * Rencana bahan ajar oleh guru* Penuntun belajar (coursesyllabus) dibuat guru.* Sekuens logis (logical sequence)pembelajaran oleh guru. * Perjanjian belajar (learningcontracts)* Projek belajar (learningprojects)* Urutan belajar atas dasarkesiapan (sequenced by
readiness)
Kegiatan belajar * Tehnik penyajian (transmittaltechniques)* Tugas bacaan (assigned readings) * Projek untuk penelitian(inquiry projects)* Projek untuk dipelajari(learning projects)* Tehnik pengalaman(experiential techniques)
Evaluasi belajar * Oleh guru* Berpedoman pada norma (on acurve)* Pemberian angka * Oleh peserta didik berdasarkan evidensi yang dipelajari oleh rekan-rekan, fasiltator, ahli. (by learner-collected evidence validated by peers, facilitators, experts).* Referensinya berdasarkan criteria (criterion-referenced)
Kebutuhan peserta didik harus diperhatikan
Andragogi mengsumsikan bahwa orang dewasa belajar dengan efektif apabila kebutuhannya dikenali dan dipenuhi. Vlodkowski (1986) mengemukakan bahwa teori kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow yakni: physiological needs, safety needs, love and belogingness needs, esteem needs, dan self actualization needs, harus dipertimbangkan oleh pengajar di dalam merencanakan dan mengelola kegiatan belajar bersama orang dewasa.
Pengikut Knowles lainnya, Jane Vella (1993), menegaskan bahwa analisis kebutuhan harus menempati urutan pertama dalam kegiatan pembelajaran orang dewasa supaya terjadi relevansi dan makna. Memahami dan mengenali kebutuhan dari siapa yang akan mengikuti kegiatan belajar, menurut Vella, akan menentukan langkah dalam menentukan alasan, tujuan, isi, tempat dan proses pembelajaran. Vella mengusulkan interview dengan anggota kelompok atau yang mewakilinya dapat memberi masukan tentang minat dan kebutuhan belajar.
Sementara itu Knowles (1980) melihat ada dua jenis kebutuhan peserta didik, yaitu kebutuhan pribadi dan kebutuhan pendidikan. Kebutuhan pribadi itu adalah:
1. Physical needs - to see, to hear, to be comfortable, for rest at a minimum.
2. Growth needs - they are development in knowledge, understanding, skills, attitudes,
interests and appreciation. When people are aware of having new competencies they are motivated to learn.
3. The need for security - protection against threat to healthy self-respect and self-image. “It
is this need that motivates people to be coutious and reserved in a strange setting.” (p. 85). When this need is not met people may withdraw from participating in learning, or they may protect themselves by taking over, controlling and dominating.
4. The need for new experience - adventure, excitement, and risk; new friends, new ways of
doing things and new ideas. New experience brings people to find new friends, new interests, new ideas and new thing to do their tasks. “People tend to become bored with too much routine, too much security. When their need for new experience is frustrated, they tend to develop such behavioral symptoms as restlessness, irritability, impulsiveness, or indifference.” (p. 85).
5. The need for affection or social needs - close relationship with people who will listen to
ideas and feelings, as well as expectations. When people realized they are liked by others, they are motivated for self sacrifice, and cause them to cooperate with those with similar interests and needs.
6. The need for recognition - the need to have status, position in group; the need to be
admired, or respected by people for what one’s is doing (pp.84-87).
Kebutuhan pendidikan menurut Knowles ialah kesenjangan antara kompetensi yang dimiliki peserta didik dengan kompetensi yang seharusnya dituntut oleh masyarakat atau lapangan kerja. Kesenjangan itulah yang harus dipenuhi melalui kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Pengetahuan apa yang dibutuhkan oleh peserta didik? Seberapa banyak pengetahuan yang dibutuhkan itu? Sikap dan nilai hidup apa yang diperlukannya? Kompetensi kepribadian, kecakapan dan keterampilan apa yang dibutuhkan untuk menunaikan tugasnya? Kalau kesenjangan kompetensi itu tidak diketahui, atau diabaikan, maka kegiatan belajar menjadi tidak relevan dengan kebutuhan peserta didik.
Disamping itu, Knowles mengemukakan adanya minat (interest) yang dibawa peserta didik ke dalam kegiatan belajarnya. Minat itu terkait dengan hal-hal yang disukai (liking) atau pereferensi (preference). Minat peserta didik jelas dapat berubah karena berbagai faktor yang mempengaruhi. Minat itu dapat saja terkait dengan dunia seni, olah raga, keagamaan, keterampilan tehnik, keterampilan sosial, dan kepribadian.
Menurut Knowles, ada banyak cara pengajar dan intitusi pendidikan untuk mengetahui kebutuhan dan minat peserta didiknya, antara lain:
1- From the individual themselves - through interviews, group discussions or questionnaire: projective questionnaire or sentence-completion questionnaire.
2 - From people in “helping roles” with individuals: konselor; tokoh agama; rohanian; wali mahasiswa; sponsor.
3 - From the mass media.
4 - From the professional literature: psikologi, sosiologi, antropologi, politik.
5 - From organizational and community surveys (1980: 93-100).
Menurut pemahaman saya, perkara lain yang patut diketahui para pengajar mengenai peserta didiknya ialah gaya belajar mereka. David Kolb, salah satu dari sejumlah teori di bidang ini, mengemukakan empat jenis gaya belajar. Kolb membangun konsep itu berdasarkan asumsi bahwa di dalam kegiatan belajar orang melibatkan empat aspek yaitu pikiran (konseptualisasi abstrak); perasaan (pengalaman konkrit); pengamatan (observasi reflektif); dan perbuatan (eksperimentasi aktif). Setiap individu menurut Kolb hanya mempunyai kecenderungan mengkombinasikan dua cara atau aspek, dan sebab itu muncullah empat jenis gaya belajar yakni: the assimilator; the accommodator; the diverger; dan the converger (Nasution, 1988:111-115). The assimilator, membentuk pemahamannya dengan cara konseptualisasi abstrak (pemikiran, logika) dan observasi (pengamatan) reflektif. The accommodator, meningkatkan kompetensi dirinya dengan eksperimentasi aktif (apa yang telah dan sedang dikerjakan; tugas-tugas) dan pengalaman konkrit (nyata). The converger, membangun pengertiannya dengan cara berpikir atau konseptualisasi abstrak dan eksperimentasi aktif. The diverger, membangun pengetahuannya dengan pengalaman konkrit dan pengamatan reflektif.
Cara lain memahami gaya belajar itu ialah dari pendekatan neuropsychology. DePorter & Hernacki (1992) mengemukakan bahwa menurut konsep ini manusia memiliki dua belahan otak, yakni otak kiri dan otak kanan yang fungsinya berbeda. Otak kiri merupakan tempat orang berpikir secara logis, berpikir linear, sistematik, tatabahasa, kalkulasi. Dengan belahan otak kanan orang merasakan, bekerja secara random (acak), menyukai irama, memahami ruang (space) dan gerak. Selain itu, orang menyusun persepsinya dengan dua cara, yakni: abstrak (ide, konsep) dan konkrit (contoh nyata, tindakan). Kombinasi dari dua aspek ini melahirkan empat gaya berpikir atau gaya belajar yakni:
1) Sekuensial Konkrit (SK) - dominasi otak kiri dengan persepsi konkrit - mengutamakan petunjuk kerja yang jelas; berpikir logis dan sistematis; juga praktis; serta cenderung bekerja sendirian (individual).
2) Sekuensial Abstrak (SA) - dominasi otak kiri dengan persepsi abstrak - teoritis, konseptual, menyukai gagasan sehingga kurang praktis; juga cenderung bekerja sendirian (individual).
3) Acak Konkrit (AK) - dominasi otak kanan dengan persepsi konkrit - membangun pemahaman bertolak dari evidensi, kenyataan; tidak menyukai hal-hal logis dan sistematis; atau lebih menuruti intuisi.
4) Acak Abstrak (AA) - dominasi otak kanan dengan persepsi abstrak - mengembangkan pemahaman bertolak dari suasana relasi; perasaan; kerjasama dengan orang; sulit di dalam menyusun gagasan secara logis dan sistematis.
Belakangan ini para ahli pendidikan mulai mencermati konsep multiple intelligence ahli pendidikan dari Universitas Harvard, Horward Gardner. Menurut Gardner (1993) kecerdasan manusia tidak patut hanya diukur dari kemampuan linguistic dan matematis atau logikanya sebagaimana selama ini dilakukan para ahli psikologi. Berdasarkan hasil risetnya yang dilakukan lintas budaya, Gardner melihat tujuh macam kecerdasan manusia yaitu: 1) linguistik; 2) musikal; 3) logiko-matematik; 4) kinestesik; 5) spasial; 6) natural; 7) personal (interpersonal dan intrapersonal). Thomas Amstrong (1999) adalah salah seorang sarjana yang merumuskan alat uji (test) dalam hal kercerdasan berganda dari Ganrner ini, serta mengemukakan implikasinya dalam pendidikan dan pembelajaran.
Bagaimana dengan penerapannya?
Menerapkan pembelajaran cara self directing untuk mahasiswa di Indonesia bukanlah perkara mudah. Mahasiswa di Indonesia umumnya bertumbuh dalam budaya hierarkhis, dimana orangtua, guru, tokoh agama dipandang sebagai nara sumber utama dalam menambah pengetahuan. Sebab itu, mereka bergantung kepadanya. Sikap mental kemandirian kurang dikembangkan dalam keluarga dan sekolah di tanah air. Karena itu, ketika peserta didik belajar di pergurun tinggi sekalipun mereka masih merasa harus digurui oleh pengajaranya, lebih cenderung mendapatkan petunjuk lengkap guna menyelesaikan studinya.
Kebanyakan pengajar juga bersikap demikian, yakni memandang tugasnya hanya mengajarkan informasi yang diketahui kepada peserta didiknya. Mereka mengikuti tradisi pembelajaran pedagogi yang pernah dilaluinya. Pada umumnya pengajar malah senang jika peserta didik menerima saja apa yang dikemukakannya, atau dianggap keliru apabila bila murid mempunyai pandangan berbeda. Hal demikian menyulitkan penerapan prinsip andragogoi dalam pembelajaran.
Dalam rangka membina peserta didik menjadi manusia dewasa, menurut hemat saya kedua pendekatan di atas dapat saja kita pergunakan. Saling melengkapi. Knowles (1993) bahkan menyatakan bahwa jika murid sama sekali baru dalam apa yang akan dipelajari, maka diperlukan pendekatan pedagogi. Artinya, pengajar harus memberikan informasi dasar terlebih dahulu. Dalam hal itu murid sangat bergantung kepada kualitas guru dalam mengajar dan memberikan penjelasan. Akan tetapi, setelah peserta didik mendapatkan pengetahuan yang memadai, maka mereka harus dimotivasi untuk mengembangkan studinya secara mandiri atau bersama dengan kelompoknya. Studi kasus, pemecahan masalah, penyelesaian projek dapat membantu pengembangan kemandirian diri mereka itu.
Dalam sebuah kegiatan kuliah, pengajar dapat saja memberikan garis besar perkuliahan selama pertengahan semester atau dalam enam minggu pertama. Setelah mengevaluasi rencana dan kegiatan yang ditempuh, untuk enam minggu berikutnya, pengajar dapat memotivasi peserta didik untuk melakukan studi mandiri atau berkelompok dan mereka menjadi sumber belajar. Kasus-kasus atau topik untuk disajikan dapat dirundingkan bersama-sama (peer group learning). Penilaian dari kegiatan itu harus jelas, supaya nilai akhir kegiatan studinya tidak bergantung kepada ujian tengah semester atau ujian akhir semester belaka, tetapi porsi tugas dan studi mandiri lebih diperbesar. Dalam perkataan lain, prinsip akuntabilitas dari pengajar dibutuhkan.
Dalam rangka membantu peserta didik untuk mengalami perkembangan ke arah andragogi, yang sangat diperlukan adalah keterampilan belajar (learning how to learn). Peserta didik yang tidak mempunyai keterampilan belajar mempunyai kecenderungan bergantung kepada pengajarnya atau kepada sesama peserta didik lainnya. Adalah baik dan bijak apabila pengajar memberi waktu untuk mendiskusikan cara-cara belajar efektif dalam mengembangkan mata kuliah atau bidang studi yang diampunya. Cara lain, pengajar menugaskan mahasiswa mengikuti lokakarya cara belajar efektif atau membaca buku petunjuk praktis seperti terkait dengan cara berpikir, membaca cepat, melakukan riset, merancang gagasan dan menyusunnya.
Selain itu, pengembangan pribadi dalam hal percaya diri (self-concept), perlu mendapatkan perhatian pengajar. Peserta didik yang kurang percaya diri enggan untuk bekerja dengan kemampuan dirinya, melainkan menggantungkan diri kepada bantuan orang lain. Mahasiswa dengan konsep diri rendah tidak mampu melihat potensi dirinya secara benar, sehingga mungkin dilanda perasaan tidak berdaya dan minder, atau sebaliknya merasa diri pintar padahal tidak demikian. Penanaman konsep dan sikap bahwa mereka mampu sebagai sumber belajar, patut ditekankan dan diteladankan oleh pengajar.
Mengakhiri uraian ini saya mengemukakan gagasan praktis dari Jane Vella (1994) yang telah mengembangkan gagasan Malcom Knowles di atas dalam kegiatan pembelajaran yang dikelolanya. Vella membuktikan bahwa prinsip andragogi di atas tidak saja berlaku untuk masyarakat di Amerika, tetapi juga di Afrika, Nepal, Indonesia dan berbagai tempat lainnya. Vella pun menegaskan bahwa prinsip andragogi tidak saja dapat dioperasionalkan dalam pembelajaran informal di luar sekolah atau kampus, tetapi juga di dalam konteks formal perguruan tinggi. Saya melihat Vella mengusulkan dua belas prinsip penting di dalam mengelola kegiatan belajar bersama orang dewasa.
1 - Agar pengajar melakukan analisis kebutuhan (need assesment) peserta didik sebagai langkah awal untuk berdialog dengan mereka. Pengajar dapat memilih sejumlah wakil dari kelompok besar untuk memberikan informasi mengenai kebutuhan peserta didik, selain memberikan questionnaire kepada semua anggota.
2 - Agar pengajar menciptakan suasana nyaman (safety) ketika berinteraksi dengan peserta didik; dengan jalan tetap hargai pendapat mereka dan melakukan koreksi; juga mendengarkan isi hati mereka, kebingungan, kegelisahan dan sejenisnya. Istilah safety lebih terkait kepada aspek psikologis.
3 - Agar pengajar terus membina hubungan akrab dengan peserta didik di dalam ruangan atau di luarnya dengan cara-cara yang sesuai dengan budaya mereka. Hubungan yang bersahabat antara guru dengan peserta didik harus mendapat tempat utama dalam kegiatan pembelajaran. Pengajar harus sadar bahwa ia tidak saja mengajarkan sesuatu kepada peserta didiknya, tetapi ia melakukan tugas pembelajaran diantara dan bersama mereka.
4 - Agar pengajar membawa peserta didik bertolak dari hal-hal sederhana kepada yang lebih kompleks; sequence pembelajaran harus jelas dari yang paling mudah kepada yang lebih bahkan sangat sukar. Ketika berhasil menguasai sebuah langkah ataupun konsep, pengajar patut menyatakan penghargaan bagi peserta didiknya, untuk menyiapkan atau tepatnya memotivasi mereka ke tugas berikutnya.
5 - Agar pengajar benyak melakukan aktivitas refleksi atas tindakan, atas kasus, atas simulasi sosial, atau atas tayangan yang disaksikan. Menurut Vella, kita dapat mengajukan empat pertanyaan untuk dipertimbangkan:
a) Apa yang Anda lihat terjadi (deskripsi)?
b) Mengapa hal itu terjadi (analisis)?
c) Jika hal itu terjadi dalam situasi Anda, apa penyebabnya (aplikasi)?
d) Apa yang dapat kita lakukan terhadap hal itu (implementasi)?
6 - Agar pengajar memandang peserta didik sebagai subjek dalam kegiatan belajar. Mereka bukan sebagai objek kosong yang harus dipenuhi informasi. Jika mereka diperlakukan sebagai subjek, maka pandangan, perasaan, sikap, opini mengenai bagaimana cara belajarnya yang tepat untuk mencapai hasil harus didengarkan dan difasilitasi. Peran pengajar bersama orang dewasa lebih berupa fasilitator pembelajaran.
7 - Agar pengajar senantiasa melibatkan dan menyentuh pikiran, perasaan dan sikap serta perbuatan peserta didik dalam aktivitas pembelajaran. Peserta didik tidak datang ke dalam perjumpaan bersama guru dengan membawa tubuh dan pikiran belaka, tetapi juga menghadirkan perasaan dan sikap.
8 - Agar apa yang dipelajari oleh peserta didik harus memiliki manfaat, relevan dengan hidup atau tugas sehari-hari. Walaupun yang dipelajari peserta didik hal-hal bersifat abstrak dan konseptual, namun pengajar dapat mengkaitkannya dengan situasi praktis atau dengan tugas dan tanggung jawab sehari-hari. Kalau orang dewasa melihat apa yang tengah dipelajari membawa manfaat, motivasi mereka berkembang.
9 - Agar pengajar mengembangkan dialog dalam pembelajaran, jika tidak demikian maka peran guru sebagai pengajar segera lenyap. Dialog menghendaki relasi kesahabatan juga kesediaan pengajar untuk menjadi satu level dengan peserta didiknya memperbincangkan masalah yang mereka hadapi.
10- Agar pengajar membangun kerjasama diantara peserta didik dalam kelompok kecil (team work). Peran guru memfasilitasi dan memotivasi agar kelompok bekerja dengan optimal. Menurut hemat saya ini cocok dengan pola hidup orang di Indonesia, lebih termotivasi belajar bersama rekan-rekan yang mengenal, memahami, menerima, membangunnya.
11 - Keterlibatan (engagement) guru dalam kegiatan belajar bersama peserta didik membangun semangat belajar mereka. Belajar sebagai sebuah tindakan aktif dan keterlibatan. Kalau pengajar menugaskan sebuah kasus kepada kelompok kecil, ia juga harus terlibat bersama salah satu kelompok itu.
12 - Prinsip akuntabilitas merupakan kunci sukses belajar dan mengajar. Design pembelajaran seperti silabus harus terbuka kepada peserta didik, dapat distruktur ulang untuk mencapai tujuan. Apa yang disepakati untuk dilakukan mestilah dilaksanakan. Kegagalan maupun keberhasilan belajar dinyatakan secara terus terang namun bijaksana.
Wacana akhir
Dalam konteks pendidikan teologi seperti di Institut Alkitab Tiranus, banyak mahasiswa yang belajar sudah mempunyai pengalaman melayani di dalam atau bersama dengan gereja. Seharusnyalah pengalaman mereka itu dapat dijadikan sumber dan sarana di dalam kegiatan belajar, sehingga apa yang dipelajari menjadi menyenangkan dan bermakna. Memperlakukan mereka ibarat “botol kosong” yang harus diisi dengan informasi yang diketahui oleh pengajar, belum tentu relevan dengan kebutuhan individual dan kebutuhan pendidikan mereka. Mungkin mereka conformed saja kepada nilai-nilai dan pengetahuan pengajarnya supaya lulus dan memperoleh gelar, tetapi tidak mengalami trnasformasi.
Memang, cukup banyak peserta didik yang “masih hijau” dengan disiplin ilmu teologi. Karena itu, pendekatan pedagogi tetap berguna dalam membimbing mereka hingga mampu mengembangkan diri untuk mendalami studi yang ditempuhnya. Keterampilan pengajar di dalam memotivasi peserta didik, dalam menjelaskan, menyingkapkan, menelusuri buku sumber bersama-sama, semuanya dibutuhkan. Pemahaman dan keterampilan dasar mestilah dikuasai olejh peserta didik. Akan tetapi, pendidik teologi harus selalu ingat bahwa tugas mereka yang utama ialah membuka jalan supaya peserta didik aktif di dalam kegiatan belajarnya.
Pendidikan dalam konteks sekolah tinggi teologi, sudah seharusnya bertolak dari mengajar kepada belajar (from teaching to learning). Mungkin sekali guru merasa sudah mengajar dengan segala usaha, namun melihat peserta didiknya tetap “bodoh” dalam arti tidak mampu mengikuti gaya berpikir sang guru karena tidak mampu menjawab kuis atau pertanyaan kognitif yang diajukan. Guru demikian merasa sudah mengajar dari pihaknya, tetapi belum memfasilitasi terjadinya kegiatan belajar dalam diri peserta didik. Mungkin saja ketika guru mengajar, mereka merasa tidak nyaman, dan berusaha sekuat tenaga menjadi tertib supaya tidak dicap pemberontak atau pembangkang. Padahal, mereka belum belajar, sebab gaya belajar dan pengalaman serta pemahaman mereka tidak ikut serta di dalam perbuatan atau proses itu. Interaksi dialogis yang tidak bertumbuh dan berkembang membuat kegiatan mengajar kurang kreatif dan konstruktif. Mengajar haruslah kita maknai sebagai perbuatan dan memotivasi membantu, memfasilitasi peserta didik untuk belajar. Dialog dan diskusi mewarnai aktivitas belajar yang penuh makna dan menyenangkan.
Jika kita menyimak keterangan kitab Injil, Tuhan Yesus mengajar dan melatih para murid-Nya dengan pendekatan andragogi sebagaimana dikemukakan di atas. Pengalaman mereka dijadikan sarana dan bahan pembelajaran. Seringkali ajaran Yesus bertolak dari pertanyaan, masalah yang diajukan dan dialami para murid. Kotbah di Bukit misalnya, diucapkan Yesus setelah menyimak, melihat orang banyak yang datang kepada-Nya. Yesus mendengarkan mereka, kemudian menjawab apa yang diungkapkan. Lebih dari itu Dia mengetahui isi hati mereka. Tuhan Yesus juga menekankan kebersamaan dengan murid-murid-Nya. Kehadiran-Nya dalam rumah, dalam ruang, dalam tugas, juga dalam persoalan yang dihadapi para murid, membawa perubahan besar. Yesus Guru Agung berkuasa di dalam mengajar tetapi tidak menjadi otoriter (bd. Mat 7:27-28). Prinsip inkarnasi selalu tampak di dalam melaksanakan tugas-Nya, Dia “mengosongkan diri” dan “menjadi serupa” dengan mereka yang dibina-Nya.
Daftar Bacaan:
Amstrong, Thomas (1999). Seven Kinds of Smart. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Arif, Zainudin (1986). Andragogy. Bandung: Penerbit Angkasa.
Brookfield. Stephen D (1986). Understanding and Facilitating Adult Learning. Milton Keynes: Open University Press.
Cranton, Patricia (1994). Understanding and Promoting Transformative Learning:A Guide for Educators of Adults. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
DeProter, Bobbi., Mike Hernacki (1992). Quantum Learning. Bandung: Penerbit KAIFA.
Gardner, Howard (1993). Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences. Basic Books.
Gormly, Anne V., David M. Brodzinsky (1993). Lifespan Human Development. 5th edition. Tokyo: Harcourt Brace Collage Publishers.
Knowles, Malcom S. (1993), “Contributions of Malcom Knowles,” in The Christian Handbook on Adult Education eds. K.O.Gangel & James C. Wilhoit. Victor Books. Pp. 91-103.
Knowles, Malcom S. (1970). The Moderns Practice of Adult Education: Andragogy Versus Pedagogy. New York: Association Press.
Knowles, Malcom S. (1980). The Modern Prcatice of Adult Education: From Pedagogy to Andragogy. N.Y.: Cambridge, The Adult Education Company.
Lunandi, A.G. (1984). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Merriam, Sharan B., Rosemary S. Caffarella (1999). Learning in Adulthood. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Nasution S (1988). Berbagai Pendekatan Dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Penerbit PT Bina Aksara.
Newman, Barbra M., Philip R Newman (1987). Development Through Life: A Psychosocial Approach. Chicago, ill.: The Dorsey Press.
Rogers, Alan (1986). Teaching Adults. Milton Keynes: Open University Press.
Semiawan, Conny R. (1999). Pendidikan Tinggi: Peningkatan Kemampuan Manusia. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
Suprijanto (2007). Pendidikan Orang Dewasa. Jakarta: Bumi Aksara.
Tamat, Tisnowati (1985). Dari Pedagogik Ke Andragogik Jakarta: Penerbit Pustaka Dian.
Wibowo, Alexander Jatmiko., Fandy Tjiptono, editor. (2002). Pendidikan Berbasis Kompetensi Diterbitkan Dalam Rangka Dies Natalis ke-37 Universitas Atma Jaya Yogyakarta Bekerjasama dengan Pusat Pemasaran Universitas UAJY.
[1] Awalnya sebagai rancangan bahan untuk International Conference on “Teaching and Learning in Higher Education for Developing Countries,” di Universitas Kristen Maranatha, Bandung, 28-29 Nopember 2007. Disajikan sebagai bahan diskusi bersama rekan-rekan dosen, dalam kelompk belajar bersama di Institut Alkitab Tiranus, Cihanjuang, Senin, 26 Nopember 2007.[2] Beberapa karya di tanah air yang memperkenalkan konsep andrgagogi dalam pendidikan adalah oleh Lunandi (1984); Tamat (1985); Arif (1986), dan baru-baru ini oleh Suprijanto (2007).
Sumber: http://www.tiranus.net/?p=20
Title : PRINSIP PEDAGOGI DAN ANDRAGOGI
Description : PRINSIP PEDAGOGI DAN ANDRAGOGI DALAM PEMBELAJARAN[1] (B.S.Sidjabat, Ed.D) Pengantar Mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi pada jenjang ...
Description : PRINSIP PEDAGOGI DAN ANDRAGOGI DALAM PEMBELAJARAN[1] (B.S.Sidjabat, Ed.D) Pengantar Mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi pada jenjang ...
0 Response to "PRINSIP PEDAGOGI DAN ANDRAGOGI"
Post a Comment