Mentari teduh bersinar, membangunkan semesta alam, namun mengapa kau tak jua berhenti menangis? Di tengah kepiluan yang kau alami, aku mengerti. Aku mengerti ada segores luka menganga di ragamu. Ibu aku sebagai anak tak mampu melihat itu lebih lama, tak kuasa menahan air mata ketika kau meringis dalam kegetiran darah-darah yang tumpah. Kelabu sorotmu tak mampu ku terjemahkan dalam kebanggaan. Tapi yakinlah aku tak mau jadi anak yang kurang tahu terima kasih. Aku akan membuatmu bahagia. Aku tak akan membiarkan sebutir air matapun jatuh. Kan kusunggingkan senyummu dalam cita-citaku. Walau kau tak pernah harapkan balas budi aku tak akan berhenti.
Ibu dulu pernah bercerita akan arti sebuah kejayaan. Ingatkah itu? Sesuatu yang kini kita dambakan. Meski sampah-sampah tlah bertebaran di sisimu, takkan kubiarkan kau menyentuh itu, bahkan tak kubiarkan kau mencium bau busuknya. Telah lama kau berkubang dalam keadaan yang penuh kenistaan. Membiarkanmu sendiri dalam tangis. Sungguhpun kau cantik, aku tak melihat itu kala kau menangis. Ibu, aku yakin waktu yang akan membawamu pada senyum tulus. Senyum yang mengukir namamu di petak zaman.
Dalam diam aku selalu merutuk pada setiap ketidakadilan. Ingin rasanya kuhapuskan itu dari rautmu. Sungguhpun aku tak mampu, takkan kubiarkan itu merasuki anganku. Melenakanku sedang kau menangis dalam kegetiran. Hanya harapan yang bergejolak dalam hati ini ibu. Aku tak mampu berbuat banyak. Banyak putera-puteramu kini pergi melanglang entah ke mana. Aku yakin mereka belum tentu kembali.
Aku yakin di setiap sudut rumah ada sampah. Menyengatmu dengan kebusukan. Aku prihatin dalam ketidakberdayaan. Aku bingung bagaimana aku harus berbuat agar kau kembali tersenyum. Dan kembali berjaya dalam sejarah. Tertulis di keping-keping zaman.
Akan tetapi aku ragu ini hanya sebuah angan. Ibu mungkin mengerti apa maksudku. Puteramu ini lebih banyak diam menikmati keprihatinanmu tanpa mampu berbuat apa-apa. Jika saja ku tahu dari awal, proses yang membuatmu begini, aku akan bentangkan benih perlawanan dalam setiap ujung-ujung ragaku.
Ibu kini aku hanya mampu menulis dalam kalimat-kalimat kepihatinan yang pendek. Dan berharap ada yang sudi membacanya. Merenungkan akan arti penting kembali membuatmu berjaya. Memang tidak mudah. Aku tahu itu. Tapi tekadku kan mengalahkan segalanya. Kan kurangkai asa dari sekarang. Menyusun kembali monumen-monumen kejayaan agar mereka bisa kembali melihat bahwa ada sebuah negeri yang bernama INDONESIA telah membawa perubahan dunia baru.
End of 24 Februari 2007
Description : Mentari teduh bersinar, membangunkan semesta alam, namun mengapa kau tak jua berhenti menangis? Di tengah kepiluan yang kau alami, aku...
0 Response to "Surat Terbuka Untuk Ibu Pertiwi"
Post a Comment