Oleh
Benny Susetyo PR
Tanpa adanya perubahan sistematik dan mendasar dalam logika akal sehat pendidikan di negara ini, kita akan semakin jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Kalau pendidikan di negara kita masih ribut soal seragam dan buku pelajaran setiap tahun, substansi pendidikan akan tergerus secara perlahan, namun pasti oleh pergulatan kepentingan orang-orang di luar pendidikan itu sendiri.
Logis dikatakan pendidikan kita semakin tertinggal sebab pergerakan perkembangan pendidikan di berbagai belahan negara lain terus maju ke depan seiring dan bahkan ingin mendahului pergerakan zaman. Kita juga bergerak, tetapi dapat disaksikan betapa lambatnya kemajuan pendidikan di negara kita, kalau tak ingin dikatakan stagnan sama sekali, atau bahkan mundur ke belakang. Kita mungkin terlalu sering membicarakan pendidikan, tetapi merasakannya sebagai sesuatu yang ”baik-baik” saja.
Nasib pendidikan di negara ini semakin terpuruk karena terlalu banyak yang dibicarakan tidak terkait dengan substansi pendidikan itu sendiri. Pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa belum menjadi kesadaran umum, tetapi hanya menjadi kesadaran pribadi-pribadi. Belum menjadi pikiran utama para elite pengambil kebijakan, tetapi hanya sebagai sarana perebutan proyek.
Bangsa yang maju tidak bisa dipisahkan dari cara pandang dan berpikirnya dalam rangka untuk menempatkan kemajuan pendidikan sebagai tujuan pokok kebangsaan. Pendidikan adalah kekuatan pembentuk masa depan, karena ia merupakan instrumen yang mampu mengubah sejarah gelap menjadi terang atau sebaliknya.
Pendidikan merupakan investasi kemanusiaan karena di sanalah masa depan peradaban ini dipertaruhkan. Kini persoalan terbesar kita adalah bagaimana menyesuaikan serta merancang cara berpikir dalam dunia pendidikan menghadapi perubahan dunia yang kian kompleks, berubah cepat, sangat sulit diramalkan.
Dalam hal ini, kita perlu belajar dari Seven Complex Lesson in Education for the Future. Ini mengingatkan kita agar merumuskan kembali cara mengelola sebuah pengetahuan. Pemikiran jauh ke depan diperlukan untuk membangun kembali fondasi pendidikan guna mengembalikan pendidikan kepada visi dasarnya.
Tujuh Pedoman Utama
Morin dalam karya ini mengajukan tujuh pedoman utama dalam dunia pendidikan yang dapat menjadi kompas bagi praksis pendidikan masa depan. Menurutnya, sangatlah penting mengidentifikasi masalah-masalah mendasar yang sering dilupakan dalam pendidikan.
Salah satunya adalah pentingnya mendeteksi kekeliruan-kekeliruan dan ilusi yang selama ini menyelimuti wajah pendidikan. Pendidikan adalah alih pengetahuan dalam arti seluas-luasnya. Tapi sejauh ini, ia gagal menangkap realitas pengetahuan manusia dalam seluruh kompleksitasnya.
Pengetahuan tidak menjadi cermin atas hal-hal yang ada di luar dunia peserta didik. Pendidikan belum menempatkan siswa sebagai pribadi yang utuh. Pendidikan di negara kita belum mau mengembangkan kajian-kajian kultural, intelektual serta proses pengetahuan manusia secara komprehensif.
Lalu gagasan membangun prinsip keterkaitan dalam pengetahuan. Yang berkembang justru pengetahuan yang bersifat parsial. Pembelajaran terlalu terkotak-kotak dan membuat peserta didik cenderung tidak mampu menghubungkan linkage-nya. Lihatlah hasilnya ketika para siswa tak mampu memahami persoalan sesuai dengan konteks, dan yang sering terjadi adalah kepincangannya dengan realitas.
Substansi pendidikan tidak menyentuh hal mendasar, misalnya mengenai sejauh mana menciptakan lingkungan sekolah yang membuat siswa feel at home. Sekolah masih menjadi tempat yang menakutkan dan bukan merupakan tempat bermain yang menyenangkan bagi anak didik.
Lalu guru sering hanya berperan sebagai pawang alias mentor. Mereka belum terkondisikan menjadi teman bermain bagi siswa. Relasi hubungan yang terbentuk laksana atasan dan bawahan, bukan sebagai teman untuk saling berbagi dan memperkaya satu dengan lain. Orientasi pendidikan lalu diarahkan untuk menyiasati UAN, dan bukan untuk membentuk manusia yang otentik, berkepribadian dan peka terhadap dunia di luar sekolah.
Anak Pedalaman dan Pedesaan
Reduksi ini menyebabkan manusia kehilangan daya kritis serta kemampuan bernalar untuk menggunakan akal budi secara optimal. Pendidikan bangsa cenderung menciptakan manusia kurang cerdas karena sejak dini anak didik tidak diajak untuk menjadikan dirinya sendiri. Tanpa sadar, anak didik hanya dijadikan permainan kapital belaka.
Hal ini yang kini kita rasakan secara nyata. Ini masalah dan harus disadari sebagai masalah yang serius bagi perkembangan pendidikan. Elite perlu tahu dan menyadarinya sebagai tantangan hebat untuk menyambut masa depan Indonesia yang beradab.
Perlu dirumuskan ulang agar pendidikan tidak lagi menjadi instrumen politik. Kita perlu duduk bersama antara pendidik dan orang tua serta pemerintah dalam rangka merumuskan bersama kebijakan pendidikan yang berorientasi keindonesiaan. Kebijakan yang manusiawi yang bisa membuat manusia Indonesia memiliki harapan ke depan dalam konteks global.
Bukanlah satu dua orang yang berjaya dalam olimpiade internasional yang bisa kita banggakan untuk melihat pendidikan di Indonesia, melainkan bagaimana anak-anak pedalaman dan pedesaan juga memiliki keunggulan nyata dalam proses pendidikan yang manusiawi. Sebuah pendidikan yang bebas dari kepentingan politik, maupun bebas dari oknum-oknum pencari laba (rent seeking).
Elite cukup menyediakan kebijakan yang adil bagi semua, berpihak pada kaum lemah, dan tidak membebani anak didik dengan materi yang tak masuk akal hanya karena standar kelulusan ditentukan oleh angka-angka kuantitatif. Selanjutnya, biar rakyat yang menikmati, merasakan, dan menjalani dunia pendidikannya sendiri.
Dalam hal ini, paradigma baru pendidikan Indonesia dibutuhkan. Harus dan harus, kita menggali kekayaan dan kebesaran visi misi pendidikan dari Ki Hajar Dewantara. Mendesak dan amat urgen merumuskan visi pendidikan yang berorientasi pada pendidikan seutuhnya untuk mencetak manusia Indonesia seutuhnya.
Pendidikan seutuhnya dalam maksud Ki Hajar adalah pendidikan yang tidak mencabut akar budaya yang membuat anak didik menjadi asing dengan realitasnya. Pendidikan harus membuat manusia Indonesia menjadi peka akan budi pekerti. Kepekaan inilah yang membuat manusia Indonesia akan terbentuk sebagai pribadi yang berkehalusan budi serta berkeheningan batin.
Oleh
Benny Susetyo PR
Penulis adalah budayawan dan pendiri Setara Institut.
Benny Susetyo PR
Tanpa adanya perubahan sistematik dan mendasar dalam logika akal sehat pendidikan di negara ini, kita akan semakin jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Kalau pendidikan di negara kita masih ribut soal seragam dan buku pelajaran setiap tahun, substansi pendidikan akan tergerus secara perlahan, namun pasti oleh pergulatan kepentingan orang-orang di luar pendidikan itu sendiri.
Logis dikatakan pendidikan kita semakin tertinggal sebab pergerakan perkembangan pendidikan di berbagai belahan negara lain terus maju ke depan seiring dan bahkan ingin mendahului pergerakan zaman. Kita juga bergerak, tetapi dapat disaksikan betapa lambatnya kemajuan pendidikan di negara kita, kalau tak ingin dikatakan stagnan sama sekali, atau bahkan mundur ke belakang. Kita mungkin terlalu sering membicarakan pendidikan, tetapi merasakannya sebagai sesuatu yang ”baik-baik” saja.
Nasib pendidikan di negara ini semakin terpuruk karena terlalu banyak yang dibicarakan tidak terkait dengan substansi pendidikan itu sendiri. Pentingnya pendidikan bagi masa depan bangsa belum menjadi kesadaran umum, tetapi hanya menjadi kesadaran pribadi-pribadi. Belum menjadi pikiran utama para elite pengambil kebijakan, tetapi hanya sebagai sarana perebutan proyek.
Bangsa yang maju tidak bisa dipisahkan dari cara pandang dan berpikirnya dalam rangka untuk menempatkan kemajuan pendidikan sebagai tujuan pokok kebangsaan. Pendidikan adalah kekuatan pembentuk masa depan, karena ia merupakan instrumen yang mampu mengubah sejarah gelap menjadi terang atau sebaliknya.
Pendidikan merupakan investasi kemanusiaan karena di sanalah masa depan peradaban ini dipertaruhkan. Kini persoalan terbesar kita adalah bagaimana menyesuaikan serta merancang cara berpikir dalam dunia pendidikan menghadapi perubahan dunia yang kian kompleks, berubah cepat, sangat sulit diramalkan.
Dalam hal ini, kita perlu belajar dari Seven Complex Lesson in Education for the Future. Ini mengingatkan kita agar merumuskan kembali cara mengelola sebuah pengetahuan. Pemikiran jauh ke depan diperlukan untuk membangun kembali fondasi pendidikan guna mengembalikan pendidikan kepada visi dasarnya.
Tujuh Pedoman Utama
Morin dalam karya ini mengajukan tujuh pedoman utama dalam dunia pendidikan yang dapat menjadi kompas bagi praksis pendidikan masa depan. Menurutnya, sangatlah penting mengidentifikasi masalah-masalah mendasar yang sering dilupakan dalam pendidikan.
Salah satunya adalah pentingnya mendeteksi kekeliruan-kekeliruan dan ilusi yang selama ini menyelimuti wajah pendidikan. Pendidikan adalah alih pengetahuan dalam arti seluas-luasnya. Tapi sejauh ini, ia gagal menangkap realitas pengetahuan manusia dalam seluruh kompleksitasnya.
Pengetahuan tidak menjadi cermin atas hal-hal yang ada di luar dunia peserta didik. Pendidikan belum menempatkan siswa sebagai pribadi yang utuh. Pendidikan di negara kita belum mau mengembangkan kajian-kajian kultural, intelektual serta proses pengetahuan manusia secara komprehensif.
Lalu gagasan membangun prinsip keterkaitan dalam pengetahuan. Yang berkembang justru pengetahuan yang bersifat parsial. Pembelajaran terlalu terkotak-kotak dan membuat peserta didik cenderung tidak mampu menghubungkan linkage-nya. Lihatlah hasilnya ketika para siswa tak mampu memahami persoalan sesuai dengan konteks, dan yang sering terjadi adalah kepincangannya dengan realitas.
Substansi pendidikan tidak menyentuh hal mendasar, misalnya mengenai sejauh mana menciptakan lingkungan sekolah yang membuat siswa feel at home. Sekolah masih menjadi tempat yang menakutkan dan bukan merupakan tempat bermain yang menyenangkan bagi anak didik.
Lalu guru sering hanya berperan sebagai pawang alias mentor. Mereka belum terkondisikan menjadi teman bermain bagi siswa. Relasi hubungan yang terbentuk laksana atasan dan bawahan, bukan sebagai teman untuk saling berbagi dan memperkaya satu dengan lain. Orientasi pendidikan lalu diarahkan untuk menyiasati UAN, dan bukan untuk membentuk manusia yang otentik, berkepribadian dan peka terhadap dunia di luar sekolah.
Anak Pedalaman dan Pedesaan
Reduksi ini menyebabkan manusia kehilangan daya kritis serta kemampuan bernalar untuk menggunakan akal budi secara optimal. Pendidikan bangsa cenderung menciptakan manusia kurang cerdas karena sejak dini anak didik tidak diajak untuk menjadikan dirinya sendiri. Tanpa sadar, anak didik hanya dijadikan permainan kapital belaka.
Hal ini yang kini kita rasakan secara nyata. Ini masalah dan harus disadari sebagai masalah yang serius bagi perkembangan pendidikan. Elite perlu tahu dan menyadarinya sebagai tantangan hebat untuk menyambut masa depan Indonesia yang beradab.
Perlu dirumuskan ulang agar pendidikan tidak lagi menjadi instrumen politik. Kita perlu duduk bersama antara pendidik dan orang tua serta pemerintah dalam rangka merumuskan bersama kebijakan pendidikan yang berorientasi keindonesiaan. Kebijakan yang manusiawi yang bisa membuat manusia Indonesia memiliki harapan ke depan dalam konteks global.
Bukanlah satu dua orang yang berjaya dalam olimpiade internasional yang bisa kita banggakan untuk melihat pendidikan di Indonesia, melainkan bagaimana anak-anak pedalaman dan pedesaan juga memiliki keunggulan nyata dalam proses pendidikan yang manusiawi. Sebuah pendidikan yang bebas dari kepentingan politik, maupun bebas dari oknum-oknum pencari laba (rent seeking).
Elite cukup menyediakan kebijakan yang adil bagi semua, berpihak pada kaum lemah, dan tidak membebani anak didik dengan materi yang tak masuk akal hanya karena standar kelulusan ditentukan oleh angka-angka kuantitatif. Selanjutnya, biar rakyat yang menikmati, merasakan, dan menjalani dunia pendidikannya sendiri.
Dalam hal ini, paradigma baru pendidikan Indonesia dibutuhkan. Harus dan harus, kita menggali kekayaan dan kebesaran visi misi pendidikan dari Ki Hajar Dewantara. Mendesak dan amat urgen merumuskan visi pendidikan yang berorientasi pada pendidikan seutuhnya untuk mencetak manusia Indonesia seutuhnya.
Pendidikan seutuhnya dalam maksud Ki Hajar adalah pendidikan yang tidak mencabut akar budaya yang membuat anak didik menjadi asing dengan realitasnya. Pendidikan harus membuat manusia Indonesia menjadi peka akan budi pekerti. Kepekaan inilah yang membuat manusia Indonesia akan terbentuk sebagai pribadi yang berkehalusan budi serta berkeheningan batin.
Oleh
Benny Susetyo PR
Penulis adalah budayawan dan pendiri Setara Institut.
Title : Kesadaran Umum Masalah Pendidikan
Description : Oleh Benny Susetyo PR Tanpa adanya perubahan sistematik dan mendasar dalam logika akal sehat pendidikan di negara ini, kita akan semakin jau...
Description : Oleh Benny Susetyo PR Tanpa adanya perubahan sistematik dan mendasar dalam logika akal sehat pendidikan di negara ini, kita akan semakin jau...
0 Response to "Kesadaran Umum Masalah Pendidikan"
Post a Comment