Oleh : Dr. Rusfidra, S. Pt
(Dosen FMIPA, Universitas Terbuka, Jakarta)
e-mail: ahmad_rusfidra@yahoo.co.id
Abstrak
Guru merupakan komponen penting dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru yang berkualitas, profesional dan berpengetahuan, tidak hanya berprofesi sebagai pengajar, namun juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dalam menjalankan fungsinya sebagai agen pembelajaran, guru harus memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional. Selain itu, berdasarkan Standar Nasional Pendidikan, setiap guru harus memiliki kualifikasi pendidikan sarjana satu atau diploma IV. Guru merupakan faktor determinan dalam revitalisasi pendidikan nasional. Guru adalah motivator, fasilitator sekaligus ilmuwan.
Upaya peningkatan kualifikasi guru dapat dilakukan di perguruan tinggi. Secara umum metode penyampaian materi ajar di pendidikan tinggi dilakukan dalam dua bentuk, yaitu pendidikan tinggi tatap muka (konvensional) dan pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ). Ciri utama PTJJ adalah terpisahnnya dosen dan mahasiswa karena faktor jarak. Sebagian besar komunikasi antara dosen dan mahasiswa dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail. Sistem PTJJ merupakan salah satu solusi mengatasi kesenjangan antara keterbatasan sumber daya pendidikan dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi.
Untuk meningkatkan kompetensi guru IPA yang cerdas dan berpengetahuan agaknya model pembelajararan jarak jauh dapat dijadikan sebagai sebuah solusi meningkatkan kualifikasi pendidikan guru ketika daya tampung sistem pendidikan tatap muka sangat terbatas.
Makalah ini dimaksudkan untuk mengelaborasi penerapan pembelajaran jarak jauh untuk meningkatkan kompetensi guru IPA. Berikutnya diulas pula potensi penerapan PTJJ di Indonesia dengan bercermin pada pengalaman Jurusan Biologi FMIPA Universitas Terbuka.
Kata kunci : pembelajaran jarak jauh, kompetensi guru, universitas terbuka.
I. PENDAHULUAN
“Bangsa yang maju adalah bangsa yang baik pendidikannya; bangsa yang jelek pendidikannya tidak akan pernah menjadi bangsa yang maju”.
---Presiden Susilo Bambang Yudhoyono---
Salah satu komponen penting dalam upaya meningkatkaan mutu pendidikan nasional adalah adanya guru yang berkualitas, profesional dan berpengetahuan. Guru, tidak hanya sebagai pengajar, namun guru juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dalam menjalankan tugasnya sebagai agen pembelajaran, maka guru diharapkan memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional. Menurut Zamroni (2006), guru yang profesional adalah guru yang menguasai materi pembelajaran, menguasai kelas dan mengendalikan perilaku anak didik, menjadi teladan, membangun kebersamaan, menghidupkan suasana belajar dan menjadi manusia pembelajar (learning person).
Selain sebagai sebuah profesi, seorang guru adalah motivator dan fasilitator dalam transformasi IPTEK pada anak didik. Oleh karena itu, guru pada abad ke XXI adalah seorang saintis yang menguasai ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Sebagai ilmuwan, guru tergolong elit intelektual. Guru bukanlah profesi kelas dua. Sebab itu, calon guru sebaiknya adalah insan terpilih untuk jabatan profesi mulia.
Menurut Rustaman (2006) profesi guru adalah profesi “saintis plus” yang harus menguasai IPTEK dan mampu sebagai motivator dan fasilitator. Sebagai motivator dan fasilitator proses belajar, guru adalah seorang komunikator ulung karena ia harus mampu memberi jiwa terhadap informasi yang diberikan oleh saran komunikasi yang super canggih.
Pasca pemberlakuan UU Guru dan Dosen, guru yang mengajar di pendidikan dasar dan pendidikan menengah disyaratkan memiliki kualifikasi pendidikan sarjana (S-1) atau diploma IV (D-IV). Karena itu, guru yang belum berkualifikasi sarjana diberikan kesempatan mencapai kualifikasi minimal tersebut dalam waktu 10 tahun. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2004) guru SMA yang berkualifikasi sarjana baru 72,75 persen; guru SMK 62,16 persen; SMP 42,03 persen; SD 8,30 persen dan TK 3,88 persen. Sisanya sekitar 1,9 juta orang belum berkualifikasi sarjana. Semakin tinggi kualitas guru diharapkan kualitas pendidikan nasional akan meningkat. Faktanya, hingga kini kualitas pendidikan masih sangat rendah. Menurut Shanghai Jiaotong University (2005) tak satupun perguruan tinggi di Indonesia yang masuk rangking dalam 100 perguruan tinggi terbaik di Asia dan Australia.
Pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Semakin terdidik suatu masyarakat semakin besar peluang memiliki SDM yang berkualitas. Semakin tinggi kualitas SDM, semakin besar kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kuatnya kaitan antara pendidikan dengan SDM dalam mengukur keberhasilan pembangunan SDM suatu negara diperlihatkan oleh United Nation Development Program (UNDP).
Meningkatnya keinginan masyarakat untuk mengikuti pendidikan tinggi ternyata tidak diikuti oleh tersedianya insfrastruktur pendidikan tinggi yang memadai. Sebagai misal, Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2005 hanya dapat menampung 84.443 orang peserta di 53 PTN dari 304.922 peserta SPMB pada tahun tersebut. Sementara itu, berdasarkan hasil Ujian Nasional (UN) tahun 2006 yang diumumkan beberapa waktu lalu, UN 2006 berhasil meluluskan 1.790.881 siswa (Rusfidra, 2006b).
Dalam kondisi tersebut, perlu dicari alternatif lain seperti menerapkan pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ) untuk menyediakan kesempatan belajar yang lebih murah dan pemerataan kesempatan belajar di pendidikan tinggi. Gagasan tentang universitas terbuka dan PTJJ, virtual university, e-learning, open learning, flexible learning dan home schooling menjadi komponen penting dalam strategi nasional dan global untuk mendidik mahasiswa dalam jumlah besar.
Ditinjau dari metode penyampaian materi ajar dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi, dikenal dua model pendidikan, yaitu model pendidikan tinggi tatap muka (konvensional) dan PTJJ. Berbeda dengan pendidikan tatap muka, pada PTJJ, dosen dan mahasiswa dibatasi oleh jarak karena faktor geografis. Komunikasi antara dosen dan mahasiswa lebih banyak dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail (Rusfidra, 2002, 2006a,b).
II. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan salah satu faktor determinan kualitas SDM. Akses setiap guru untuk meningkatkan kapasitas diri dengan mengikuti perkuliahan di pendidikan tinggi harus dibuka seluas-luasnya karena pendidikan merupakan hak asasi warganegara. Pendidikan adalah kunci untuk menciptakan, mengadaptasi dan menyebarkan ilmu pengetahuan.
Dalam konteks itu, gagasan PTJJ merupakan komponen penting dalam strategi nasional maupun global untuk mendidik mahasiswa dalam jumlah besar. Hal ini sejalan dengan konsep belajar sepanjang hayat (life long learning) dan pendidikan untuk semua (education for all) yang diusung Badan Pendidikan dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
III. TUJUAN
Makalah ini dimaksudkan mengelaborasi penerapan pembelajaran jarak jauh untuk meningkatkan kompetensi guru IPA. Berikutnya diulas pula potensi penerapan PTJJ di Indonesia dengan bercermin pada pengalaman Jurusan Biologi FMIPA Universitas Terbuka.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
”Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan sampai ajal tiba”
---(Nabi Muhammad SAW.)---
4. 1. Pendidikan dan Kompetensi Guru IPA
Pada saat dunia memasuki milenium ketiga, semua bangsa maju sepakat bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan prasyarat untuk meraih kemakmuran (prosperity) dalam kancah pergaulan antarbangsa. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika para ilmuwan sejagat sekarang tengah berlomba-lomba melakukan penelitian, pengembangan dan perekayasaan untuk meningkatkan korpus pengetahuan. Hasil semua ini diharapkan dapat dijadikan modal untuk membangun masyarakat berbasis pengetahuan (Zuhal, 2000).
Berdasarkan Standar Nasional Pendidikan seorang guru diharapkan memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Kompetensi pedagogis merupakan kompetensi para guru dalam mengelola pembelajran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliknya.
Kompetensi kepribadian adalah karakteristik pribadi yang harus dimiliki guru sebagai individu yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa dan menjadi teladan bagi peserta didik. Kompetensi profesional adalah kemampuan guru dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan mereka membimbing peserta didik dalam menguasai materi yang diajarkan. Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua siswa dan masyarakat sekitar.
4. 2. Pembelajaran Jarak Jauh (Distance Learning)
Suryadi (2005) menyatakan bahwa sistem belajar konvensional di universitas tidak efektif dalam era global perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang maju pesat. Sekolah dan perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan formal belum banyak menghasilkan SDM unggul yang mampu menggerakkan perubahan dan pembaruan dalam rangka menciptakan akselerasi pembangunan untuk kemajuan bangsa. Oleh karena itu, seyogyanya praktisi pendidikan berlapang dada mengakui bahwa pendidikan belum mampu membangun kecerdasan komunal masyarakat. Kecerdasan komunal merupakan kecerdasan kolektif masyarakat yang dibangun oleh kecerdasan individual dalam membentuk masyarakat intelektual yang memiliki kearifan sosial, cakap berpikir, idealisme, etos, solidaritas, kreativitas dll.
Menurut Suryadi (2005), sistem pendidikan belum berhasil mengatasi enam aspek kelemahan pada luaran pendidikan, yaitu :
Pertama, kelemahan mengembangkan power of character. Sistem pendidikan nasional belum mampu mengembangkan karakter dan moral anak didik. Hal ini tampak pada munculnya fenomena sosial seperti egoisme pribadi/kelompok, lemahnya solidaritas, konflik sosial, korupsi, kurang bertanggung jawab, krisis identitas, dan tidak percaya diri. Kedua, kelemahan mengembangkan power of leadership. Konsep leadership cenderung direduksi sebatas kepandaian menjadi pemimpin.
Ketiga, kelemahan mengembangkan power of citizenship. Sistem pendidikan belum mampu menanamkan penghayatan, motivasi, dan komitmen untuk memberdayakan heterogenitas sosial dan budaya bangsa sebagai kekuatan dalam percaturan antar bangsa. Keempat, kelemahan mengembangkan power of thinking. Praktek pendidikan kita tidak banyak memberikan latihan berpikir.
Kelima, kelemahan mengembangkan power of skills. Ada kesan kuat bahwa sistem pendidikan dirancang untuk menghasilkan lulusan yang tidak siap kerja. Dalam konteks ini, kita masih menghadapi masalah lemahnya penguasaan keterampilan dan relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia kerja nyata. Sistem pendidikan nasional juga tidak memiliki konsep dalam mengembangkan kecakapan entrepreneurship. Keenam, kelemahan mengembangkan power of engineering. Pendidikan kita belum mampu mendorong tumbuhnya kekuatan riset, inovasi dan rekayasa teknologi untuk membangun keunggulan kompetitif.
Selain itu, salah satu persoalan pelik yang dihadapi sistem pendidikan konvensional adalah daya tampung yang rendah. Dalam kondisi demikian maka sistem PTJJ agaknya dapat dijadikan sebagai sebuah solusi.
Pembelajaran jarak jauh (distance learning) telah diperkenalkan oleh banyak peneliti, misalnya Keegan (1980); Perry dan Rumble (1987). Karakteristik utama PTJJ adalah: a). pemisahan dosen dan mahasiswa selama proses belajar mengajar; b). penggunaan media pendidikan (cetak, audio, vidio dan internet) untuk menyatukan dosen dan mahasiswa; c). peranan penting organisasi pendidikan dalam perencanaan, persiapan bahan belajar dan penyediaan pelayanan mahasiswa; d). tersedianya komunikasi dua arah, dan e). kemandirian belajar mahasiswa (Rusfidra, 2006a,b).
Praktek pembelajaran jarak jauh sangat berbeda dengan model kelas jauh. Menurut Fajar (2002) PTJJ adalah perguruan tinggi yang dalam proses pembelajarannya menggunakan teknologi media, sedangkan kelas jauh sifatnya paralel (semacam filial), kelas yang jauh dari kampus pusatnya (Koran Tempo, 23/02/2002). Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi No 2630/D/T/2000, model pembelajaran kelas jauh tidak boleh dilakukan, karena diduga dapat merugikan mahasiswa. Sampai saat ini PTN yang secara resmi menyelenggarakan sistem PTJJ hanyalah Universitas Terbuka, meskipun berdasarkan Keputusan Mendiknas Nomor 107/U/2001 tentang Penyelenggaraan Program Pendidikan Jarak Jauh, memungkinkan bagi setiap lembaga pendidikan tinggi menyelenggarakan sistem PTJJ.
4. 2. 1. Menyoal Kualitas Pembelajaran Jarak Jauh
Negara Indonesia yang tersusun dari 17.508 buah pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki potensi besar dalam mengembangkan sistem PTJJ, meskipun masih banyak sinyalemen di masyarakat bahwa PTJJ dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Tuduhan lain yang agak mengusik pelaku PTJJ adalah rendahnya mutu lulusan institusi PTJJ. Namun hal itu berhasil ditepis oleh Selim (1989) dalam Suparman (1989). Di Australia, hasil studi Selim (1989) menunjukkan bahwa prestasi mahasiswa PTJJ justru lebih baik dari mahasiswa perguruan tinggi konvensional. Begitu pula temuan Sunarwan (1982), tidak terdapat perbedaan signifikan prestasi belajar antara siswa pendidikan yang menggunakan modul dan pengajaran tatap muka.
Meskipun memiliki beberapa keunggulan, namun sistem PTJJ yang dikembangkan UT tak bebas dari kritik. Sebagai misal, salah satu kritik itu adalah berita di harian Kompas (9/5/2005) yang berjudul ”Kuliah jarak jauh tidak menjamin kompetensi guru”. Kritik terbuka Markus Wanandi (Direktur Yayasan Perkumpulan Strada, Jakarta), terkesan mendiskreditkan UT. Markus mengaku pernah memecat seorang guru lulusan UT yang bekerja di sekolahnya, karena tidak kompeten dalam mengajar.
Tuduhan Markus mengenai rendahnya kompetensi guru lulusan UT sangat prematur dan dapat diperdebatkan. Perlu diketahui bahwa guru-guru yang melanjutkan pendidikan di UT merupakan lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan LPTK. Diasumsikan metode belajar mengajar dan teknik pengelolaan kelas sudah mereka dapatkan di lembaga pendidikan terdahulu. Lagi pula, guru-guru tersebut telah berpengalaman mengajar bertahun-tahun. Oleh karena itu, tidak tepat bila Markus menyalahkan UT semata-mata. Ketidakakuratan Markus yang lain adalah kekeliruan dalam penarikan kesimpulan. Bagaimana mungkin hanya dari satu kasus, Markus lantas membuat kesimpulan umum. Penarikan kesimpulan seperti itu tidak memenuhi kaidah metode ilmiah dengan metode statistik yang sahih (Rusfidra, 2006b).
4. 3. UT: Penyelenggara PTJJ di Indonesia
Hingga kini Universitas Terbuka (UT) merupakan satu-satunya PTN yang menyelenggarakan pendidikan terbuka dan jarak jauh. Tujuan pendirian UT adalah untuk: (1) memberikan kesempatan bagi warga negara Indonesia di manapun tinggalnya untuk memperoleh pendidikan tinggi; 2) menampung lulusan SMA yang tidak tertampung di perguruan tinggi tatap muka; (3) mengembangkan pelayanan pendidikan tinggi bagi mereka yang karena pekerjaan atau alasan lain tidak dapat melanjutkan belajar di perguruan tinggi tatap muka, dan (4) mengembangkan program pendidikan akademik dan profesional sesuai kebutuhan nyata pembangunan.
Pada saat didirikan, kehadiran UT cukup mendapat respon dari masyarakat. Pada registrasi pertama tahun 1984 mendaftar sebanyak 270.000 pelamar, dan sebanyak 40.000 diterima sebagai mahasiswa UT. Pada tahun 1997 jumlah mahasiswa UT pernah mencapai 400 ribu orang. Mahasiswa UT berasal dari berbagai latar belakang tingkat pendidikan, sosial ekonomi, usia, pekerjaan dan tersebar luas diseluruh pelosok negeri.
Daya tampung UT yang besar disebabkan oleh daya jangkau media yang digunakan sangat luas dan mampu mengatasi kendala jarak dan waktu. Televisi dan radio dapat disiarkan secara nasional. Bahan ajar tercetak dapat dikirimkan kepada mahasiswa melalui pos ke pelosok negeri. Mahasiswa dapat belajar kapan saja sesuai waktu terbaik (prime time) dan dimana saja, tidak seperti mahasiswa tatap muka yang mengharuskan mahasiswa hadir di kelas pada waktu belajar tertentu. Mahasiswa PTJJ dapat menentukan gaya belajar yang nyaman bagi mereka, sebagai mana diungkapkan Dryden dan Vos (2001), bahwa belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana menyenangkan.
Dengan jumlah mahasiswa yang besar, UT termasuk dalam kelompok 11 universitas raksasa (mega universities) di dunia. Menurut Suparman et al. (2004) selama 20 tahun pertama kehadirannya (1984-2004) UT telah mendidik sekitar 1.095.440 mahasiswa, dan meluluskan 528.934 alumni yang bekerja di berbagai institusi. Saat ini sebanyak 205.281 orang tercatat sebagai mahasiswa aktif yang tersebar pada 35 program studi pada empat fakultas (FMIPA, FKIP, FEKON dan FISIP) dan Program Pascasarjana. Jumlah mahasiswa tersebut dilayani oleh 35 buah Unit Pendidikan Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) di 36 kota besar, 1.753 lokasi tutorial dan 671 lokasi ujian.
UT menerapkan sistem belajar “jarak jauh” dan “terbuka”. Istilah “jarak jauh” berarti pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka, melainkan menggunakan media, baik media cetak (modul) maupun noncetak (audio/video, komputer/internet, siaran radio dan televisi). Makna “terbuka” adalah tidak ada pembatasan usia, tahun ijazah, masa belajar, waktu registrasi, berapa kali mahasiswa mengikuti ujian dan sebagainya. Batasan yang ada hanyalah setiap mahasiswa UT harus sudah menamatkan jenjang pendidikan menengah (SMA atau yang sederajat).
Mahasiswa UT diharapkan dapat belajar secara mandiri, yaitu cara belajar yang menghendaki mahasiswa untuk belajar mandiri, mengerjakan tugas, memantapkan keterampilan dan menerapkan pengalaman di lapangan.
Dalam penyelenggaraan pendidikan, UT bekerjasama dengan semua perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia. Pada setiap kota PTN tersedia unit layanan UT yang disebut UPBJJ. PTN tersebut berperan sebagai pembina UPBJJ serta membantu dalam penulisan bahan ajar, tutorial, praktikum dan ujian.
4. 3. Pengalaman Jurusan Biologi FMIPA-UT
Sampai kini UT memiliki empat fakultas, yaitu FMIPA, FKIP, FEKON dan FISIP dan Program Pascasarjana. FMIPA terdiri dari tiga jurusan, yuaitu jurusan Matematika, Statistika dan Biologi. Jurusan Biologi memiliki empat program studi, yaitu: PS. Biologi, PS. Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP), PS. Teknologi Pangan dan PS. Pengelolaan Lingkungan.
Program studi Biologi merupakan program tingkat sarjana. Hingga kini PS. Biologi baru menerima mahasiswa yang bermukim di daerah Pulau Jawa (kota Jakarta, Bogor, Serang, Bandung, Purwokerto, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Jember), dan Lampung.
Dalam menyelenggarakan praktikum, PS. Biologi melakukan kerjasama dengan Jurusan Biologi pada empat PTN, yaitu: Jurusan Biologi UNJ Jakarta, Univ. Pakuan Bogor, UPI Bandung dan UNS Surakarta. Selain itu sedang dijajaki kerjasama dengan Jurusan Biologi UNESA Surabaya, UNNES Semarang, UNSOED Purwokerto, UNY Yogyakarta dan UNILA Lampung (Rusfidra, 2006b).
Dalam melaksanakan praktikum dan tutorial bagi mahasiswanya, PS. PKP bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP), Sekolah Penyuluh Pertanian Negeri (SPPN), Balai Informasi Penyuluh Pertanian (BIPP), Balai Latihan Penyuluh Pertanian (BLPP) yang terdapat di hampir semua wilayah tanah air. Praktikum dan tutorial dilaksanakan di lembaga-lembaga lingkup Departemen Pertanian tersebut.
Selain kerjasama praktikum dengan PTN/PTS, saat ini PS. Biologi mulai mengembangkan praktikum di laboratorium virtual berbasis internet. Menurut Sulistiana (2006) laboratorium virtual adalah laboratorium maya berbasis komputer interaktif yang mengintegrasikan berbagai komponen media dalam bentuk teks, gambar, animasi, suara dan video. Dalam mengembangkan laboratorium virtual terdapat beberapa rangkaian kegiatan mulai dari penyusunan Garis besar Program Medai (GBPM), Analisis Instruksional (AI), flowchart, penulisan naskah, pemrograman dengan macromedia flash. Produk akhir laboratorium dikemas dalam bentuk compact disc (CD). CD ini dapat digunakan sebagai media belajar.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5. 1. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Guru adalah motivator dan fasilitator dalam transformasi IPTEK pada anak didik. Guru bukanlah profesi kelas dua. Sebab itu, calon guru sebaiknya adalah insan terpilih untuk jabatan profesi mulia.
2. Pembelajaran jarak jauh merupakan salah satu solusi dalam meningkatkan kompetensi guru IPA menjadi guru berpengetahuan, cerdas, kreatif, inovatif dan produktif.
3. Ciri utama PTJJ adalah terpisahnnya dosen dengan mahasiswa. Sebagian besar komunikasi antara dosen dan mahasiswa dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail.
5. 2. SARAN
1. Untuk meningkatkan kompetensi guru IPA dan menyediakan kesempatan belajar di pendidikan tinggi bagi guru-guru yang belum berkualifikasi sarjana, maka sistem pembelajaran jarak jauh dapat dijadikan sebagai salah satu solusi.
(Dosen FMIPA, Universitas Terbuka, Jakarta)
e-mail: ahmad_rusfidra@yahoo.co.id
Abstrak
Guru merupakan komponen penting dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru yang berkualitas, profesional dan berpengetahuan, tidak hanya berprofesi sebagai pengajar, namun juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dalam menjalankan fungsinya sebagai agen pembelajaran, guru harus memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional. Selain itu, berdasarkan Standar Nasional Pendidikan, setiap guru harus memiliki kualifikasi pendidikan sarjana satu atau diploma IV. Guru merupakan faktor determinan dalam revitalisasi pendidikan nasional. Guru adalah motivator, fasilitator sekaligus ilmuwan.
Upaya peningkatan kualifikasi guru dapat dilakukan di perguruan tinggi. Secara umum metode penyampaian materi ajar di pendidikan tinggi dilakukan dalam dua bentuk, yaitu pendidikan tinggi tatap muka (konvensional) dan pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ). Ciri utama PTJJ adalah terpisahnnya dosen dan mahasiswa karena faktor jarak. Sebagian besar komunikasi antara dosen dan mahasiswa dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail. Sistem PTJJ merupakan salah satu solusi mengatasi kesenjangan antara keterbatasan sumber daya pendidikan dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat untuk memperoleh pendidikan tinggi.
Untuk meningkatkan kompetensi guru IPA yang cerdas dan berpengetahuan agaknya model pembelajararan jarak jauh dapat dijadikan sebagai sebuah solusi meningkatkan kualifikasi pendidikan guru ketika daya tampung sistem pendidikan tatap muka sangat terbatas.
Makalah ini dimaksudkan untuk mengelaborasi penerapan pembelajaran jarak jauh untuk meningkatkan kompetensi guru IPA. Berikutnya diulas pula potensi penerapan PTJJ di Indonesia dengan bercermin pada pengalaman Jurusan Biologi FMIPA Universitas Terbuka.
Kata kunci : pembelajaran jarak jauh, kompetensi guru, universitas terbuka.
I. PENDAHULUAN
“Bangsa yang maju adalah bangsa yang baik pendidikannya; bangsa yang jelek pendidikannya tidak akan pernah menjadi bangsa yang maju”.
---Presiden Susilo Bambang Yudhoyono---
Salah satu komponen penting dalam upaya meningkatkaan mutu pendidikan nasional adalah adanya guru yang berkualitas, profesional dan berpengetahuan. Guru, tidak hanya sebagai pengajar, namun guru juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Dalam menjalankan tugasnya sebagai agen pembelajaran, maka guru diharapkan memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional. Menurut Zamroni (2006), guru yang profesional adalah guru yang menguasai materi pembelajaran, menguasai kelas dan mengendalikan perilaku anak didik, menjadi teladan, membangun kebersamaan, menghidupkan suasana belajar dan menjadi manusia pembelajar (learning person).
Selain sebagai sebuah profesi, seorang guru adalah motivator dan fasilitator dalam transformasi IPTEK pada anak didik. Oleh karena itu, guru pada abad ke XXI adalah seorang saintis yang menguasai ilmu pengetahuan yang ditekuninya. Sebagai ilmuwan, guru tergolong elit intelektual. Guru bukanlah profesi kelas dua. Sebab itu, calon guru sebaiknya adalah insan terpilih untuk jabatan profesi mulia.
Menurut Rustaman (2006) profesi guru adalah profesi “saintis plus” yang harus menguasai IPTEK dan mampu sebagai motivator dan fasilitator. Sebagai motivator dan fasilitator proses belajar, guru adalah seorang komunikator ulung karena ia harus mampu memberi jiwa terhadap informasi yang diberikan oleh saran komunikasi yang super canggih.
Pasca pemberlakuan UU Guru dan Dosen, guru yang mengajar di pendidikan dasar dan pendidikan menengah disyaratkan memiliki kualifikasi pendidikan sarjana (S-1) atau diploma IV (D-IV). Karena itu, guru yang belum berkualifikasi sarjana diberikan kesempatan mencapai kualifikasi minimal tersebut dalam waktu 10 tahun. Berdasarkan data Balitbang Depdiknas (2004) guru SMA yang berkualifikasi sarjana baru 72,75 persen; guru SMK 62,16 persen; SMP 42,03 persen; SD 8,30 persen dan TK 3,88 persen. Sisanya sekitar 1,9 juta orang belum berkualifikasi sarjana. Semakin tinggi kualitas guru diharapkan kualitas pendidikan nasional akan meningkat. Faktanya, hingga kini kualitas pendidikan masih sangat rendah. Menurut Shanghai Jiaotong University (2005) tak satupun perguruan tinggi di Indonesia yang masuk rangking dalam 100 perguruan tinggi terbaik di Asia dan Australia.
Pendidikan merupakan pilar utama dalam membangun sumber daya manusia (SDM) berkualitas. Semakin terdidik suatu masyarakat semakin besar peluang memiliki SDM yang berkualitas. Semakin tinggi kualitas SDM, semakin besar kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan. Kuatnya kaitan antara pendidikan dengan SDM dalam mengukur keberhasilan pembangunan SDM suatu negara diperlihatkan oleh United Nation Development Program (UNDP).
Meningkatnya keinginan masyarakat untuk mengikuti pendidikan tinggi ternyata tidak diikuti oleh tersedianya insfrastruktur pendidikan tinggi yang memadai. Sebagai misal, Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) tahun 2005 hanya dapat menampung 84.443 orang peserta di 53 PTN dari 304.922 peserta SPMB pada tahun tersebut. Sementara itu, berdasarkan hasil Ujian Nasional (UN) tahun 2006 yang diumumkan beberapa waktu lalu, UN 2006 berhasil meluluskan 1.790.881 siswa (Rusfidra, 2006b).
Dalam kondisi tersebut, perlu dicari alternatif lain seperti menerapkan pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ) untuk menyediakan kesempatan belajar yang lebih murah dan pemerataan kesempatan belajar di pendidikan tinggi. Gagasan tentang universitas terbuka dan PTJJ, virtual university, e-learning, open learning, flexible learning dan home schooling menjadi komponen penting dalam strategi nasional dan global untuk mendidik mahasiswa dalam jumlah besar.
Ditinjau dari metode penyampaian materi ajar dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi, dikenal dua model pendidikan, yaitu model pendidikan tinggi tatap muka (konvensional) dan PTJJ. Berbeda dengan pendidikan tatap muka, pada PTJJ, dosen dan mahasiswa dibatasi oleh jarak karena faktor geografis. Komunikasi antara dosen dan mahasiswa lebih banyak dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail (Rusfidra, 2002, 2006a,b).
II. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan merupakan salah satu faktor determinan kualitas SDM. Akses setiap guru untuk meningkatkan kapasitas diri dengan mengikuti perkuliahan di pendidikan tinggi harus dibuka seluas-luasnya karena pendidikan merupakan hak asasi warganegara. Pendidikan adalah kunci untuk menciptakan, mengadaptasi dan menyebarkan ilmu pengetahuan.
Dalam konteks itu, gagasan PTJJ merupakan komponen penting dalam strategi nasional maupun global untuk mendidik mahasiswa dalam jumlah besar. Hal ini sejalan dengan konsep belajar sepanjang hayat (life long learning) dan pendidikan untuk semua (education for all) yang diusung Badan Pendidikan dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
III. TUJUAN
Makalah ini dimaksudkan mengelaborasi penerapan pembelajaran jarak jauh untuk meningkatkan kompetensi guru IPA. Berikutnya diulas pula potensi penerapan PTJJ di Indonesia dengan bercermin pada pengalaman Jurusan Biologi FMIPA Universitas Terbuka.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
”Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan sampai ajal tiba”
---(Nabi Muhammad SAW.)---
4. 1. Pendidikan dan Kompetensi Guru IPA
Pada saat dunia memasuki milenium ketiga, semua bangsa maju sepakat bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan prasyarat untuk meraih kemakmuran (prosperity) dalam kancah pergaulan antarbangsa. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika para ilmuwan sejagat sekarang tengah berlomba-lomba melakukan penelitian, pengembangan dan perekayasaan untuk meningkatkan korpus pengetahuan. Hasil semua ini diharapkan dapat dijadikan modal untuk membangun masyarakat berbasis pengetahuan (Zuhal, 2000).
Berdasarkan Standar Nasional Pendidikan seorang guru diharapkan memiliki empat kompetensi dasar, yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Kompetensi pedagogis merupakan kompetensi para guru dalam mengelola pembelajran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliknya.
Kompetensi kepribadian adalah karakteristik pribadi yang harus dimiliki guru sebagai individu yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa dan menjadi teladan bagi peserta didik. Kompetensi profesional adalah kemampuan guru dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan mereka membimbing peserta didik dalam menguasai materi yang diajarkan. Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua siswa dan masyarakat sekitar.
4. 2. Pembelajaran Jarak Jauh (Distance Learning)
Suryadi (2005) menyatakan bahwa sistem belajar konvensional di universitas tidak efektif dalam era global perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi yang maju pesat. Sekolah dan perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan formal belum banyak menghasilkan SDM unggul yang mampu menggerakkan perubahan dan pembaruan dalam rangka menciptakan akselerasi pembangunan untuk kemajuan bangsa. Oleh karena itu, seyogyanya praktisi pendidikan berlapang dada mengakui bahwa pendidikan belum mampu membangun kecerdasan komunal masyarakat. Kecerdasan komunal merupakan kecerdasan kolektif masyarakat yang dibangun oleh kecerdasan individual dalam membentuk masyarakat intelektual yang memiliki kearifan sosial, cakap berpikir, idealisme, etos, solidaritas, kreativitas dll.
Menurut Suryadi (2005), sistem pendidikan belum berhasil mengatasi enam aspek kelemahan pada luaran pendidikan, yaitu :
Pertama, kelemahan mengembangkan power of character. Sistem pendidikan nasional belum mampu mengembangkan karakter dan moral anak didik. Hal ini tampak pada munculnya fenomena sosial seperti egoisme pribadi/kelompok, lemahnya solidaritas, konflik sosial, korupsi, kurang bertanggung jawab, krisis identitas, dan tidak percaya diri. Kedua, kelemahan mengembangkan power of leadership. Konsep leadership cenderung direduksi sebatas kepandaian menjadi pemimpin.
Ketiga, kelemahan mengembangkan power of citizenship. Sistem pendidikan belum mampu menanamkan penghayatan, motivasi, dan komitmen untuk memberdayakan heterogenitas sosial dan budaya bangsa sebagai kekuatan dalam percaturan antar bangsa. Keempat, kelemahan mengembangkan power of thinking. Praktek pendidikan kita tidak banyak memberikan latihan berpikir.
Kelima, kelemahan mengembangkan power of skills. Ada kesan kuat bahwa sistem pendidikan dirancang untuk menghasilkan lulusan yang tidak siap kerja. Dalam konteks ini, kita masih menghadapi masalah lemahnya penguasaan keterampilan dan relevansi antara dunia pendidikan dengan dunia kerja nyata. Sistem pendidikan nasional juga tidak memiliki konsep dalam mengembangkan kecakapan entrepreneurship. Keenam, kelemahan mengembangkan power of engineering. Pendidikan kita belum mampu mendorong tumbuhnya kekuatan riset, inovasi dan rekayasa teknologi untuk membangun keunggulan kompetitif.
Selain itu, salah satu persoalan pelik yang dihadapi sistem pendidikan konvensional adalah daya tampung yang rendah. Dalam kondisi demikian maka sistem PTJJ agaknya dapat dijadikan sebagai sebuah solusi.
Pembelajaran jarak jauh (distance learning) telah diperkenalkan oleh banyak peneliti, misalnya Keegan (1980); Perry dan Rumble (1987). Karakteristik utama PTJJ adalah: a). pemisahan dosen dan mahasiswa selama proses belajar mengajar; b). penggunaan media pendidikan (cetak, audio, vidio dan internet) untuk menyatukan dosen dan mahasiswa; c). peranan penting organisasi pendidikan dalam perencanaan, persiapan bahan belajar dan penyediaan pelayanan mahasiswa; d). tersedianya komunikasi dua arah, dan e). kemandirian belajar mahasiswa (Rusfidra, 2006a,b).
Praktek pembelajaran jarak jauh sangat berbeda dengan model kelas jauh. Menurut Fajar (2002) PTJJ adalah perguruan tinggi yang dalam proses pembelajarannya menggunakan teknologi media, sedangkan kelas jauh sifatnya paralel (semacam filial), kelas yang jauh dari kampus pusatnya (Koran Tempo, 23/02/2002). Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi No 2630/D/T/2000, model pembelajaran kelas jauh tidak boleh dilakukan, karena diduga dapat merugikan mahasiswa. Sampai saat ini PTN yang secara resmi menyelenggarakan sistem PTJJ hanyalah Universitas Terbuka, meskipun berdasarkan Keputusan Mendiknas Nomor 107/U/2001 tentang Penyelenggaraan Program Pendidikan Jarak Jauh, memungkinkan bagi setiap lembaga pendidikan tinggi menyelenggarakan sistem PTJJ.
4. 2. 1. Menyoal Kualitas Pembelajaran Jarak Jauh
Negara Indonesia yang tersusun dari 17.508 buah pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke memiliki potensi besar dalam mengembangkan sistem PTJJ, meskipun masih banyak sinyalemen di masyarakat bahwa PTJJ dianggap sebagai pendidikan kelas dua. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya benar. Tuduhan lain yang agak mengusik pelaku PTJJ adalah rendahnya mutu lulusan institusi PTJJ. Namun hal itu berhasil ditepis oleh Selim (1989) dalam Suparman (1989). Di Australia, hasil studi Selim (1989) menunjukkan bahwa prestasi mahasiswa PTJJ justru lebih baik dari mahasiswa perguruan tinggi konvensional. Begitu pula temuan Sunarwan (1982), tidak terdapat perbedaan signifikan prestasi belajar antara siswa pendidikan yang menggunakan modul dan pengajaran tatap muka.
Meskipun memiliki beberapa keunggulan, namun sistem PTJJ yang dikembangkan UT tak bebas dari kritik. Sebagai misal, salah satu kritik itu adalah berita di harian Kompas (9/5/2005) yang berjudul ”Kuliah jarak jauh tidak menjamin kompetensi guru”. Kritik terbuka Markus Wanandi (Direktur Yayasan Perkumpulan Strada, Jakarta), terkesan mendiskreditkan UT. Markus mengaku pernah memecat seorang guru lulusan UT yang bekerja di sekolahnya, karena tidak kompeten dalam mengajar.
Tuduhan Markus mengenai rendahnya kompetensi guru lulusan UT sangat prematur dan dapat diperdebatkan. Perlu diketahui bahwa guru-guru yang melanjutkan pendidikan di UT merupakan lulusan Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan LPTK. Diasumsikan metode belajar mengajar dan teknik pengelolaan kelas sudah mereka dapatkan di lembaga pendidikan terdahulu. Lagi pula, guru-guru tersebut telah berpengalaman mengajar bertahun-tahun. Oleh karena itu, tidak tepat bila Markus menyalahkan UT semata-mata. Ketidakakuratan Markus yang lain adalah kekeliruan dalam penarikan kesimpulan. Bagaimana mungkin hanya dari satu kasus, Markus lantas membuat kesimpulan umum. Penarikan kesimpulan seperti itu tidak memenuhi kaidah metode ilmiah dengan metode statistik yang sahih (Rusfidra, 2006b).
4. 3. UT: Penyelenggara PTJJ di Indonesia
Hingga kini Universitas Terbuka (UT) merupakan satu-satunya PTN yang menyelenggarakan pendidikan terbuka dan jarak jauh. Tujuan pendirian UT adalah untuk: (1) memberikan kesempatan bagi warga negara Indonesia di manapun tinggalnya untuk memperoleh pendidikan tinggi; 2) menampung lulusan SMA yang tidak tertampung di perguruan tinggi tatap muka; (3) mengembangkan pelayanan pendidikan tinggi bagi mereka yang karena pekerjaan atau alasan lain tidak dapat melanjutkan belajar di perguruan tinggi tatap muka, dan (4) mengembangkan program pendidikan akademik dan profesional sesuai kebutuhan nyata pembangunan.
Pada saat didirikan, kehadiran UT cukup mendapat respon dari masyarakat. Pada registrasi pertama tahun 1984 mendaftar sebanyak 270.000 pelamar, dan sebanyak 40.000 diterima sebagai mahasiswa UT. Pada tahun 1997 jumlah mahasiswa UT pernah mencapai 400 ribu orang. Mahasiswa UT berasal dari berbagai latar belakang tingkat pendidikan, sosial ekonomi, usia, pekerjaan dan tersebar luas diseluruh pelosok negeri.
Daya tampung UT yang besar disebabkan oleh daya jangkau media yang digunakan sangat luas dan mampu mengatasi kendala jarak dan waktu. Televisi dan radio dapat disiarkan secara nasional. Bahan ajar tercetak dapat dikirimkan kepada mahasiswa melalui pos ke pelosok negeri. Mahasiswa dapat belajar kapan saja sesuai waktu terbaik (prime time) dan dimana saja, tidak seperti mahasiswa tatap muka yang mengharuskan mahasiswa hadir di kelas pada waktu belajar tertentu. Mahasiswa PTJJ dapat menentukan gaya belajar yang nyaman bagi mereka, sebagai mana diungkapkan Dryden dan Vos (2001), bahwa belajar akan efektif jika dilakukan dalam suasana menyenangkan.
Dengan jumlah mahasiswa yang besar, UT termasuk dalam kelompok 11 universitas raksasa (mega universities) di dunia. Menurut Suparman et al. (2004) selama 20 tahun pertama kehadirannya (1984-2004) UT telah mendidik sekitar 1.095.440 mahasiswa, dan meluluskan 528.934 alumni yang bekerja di berbagai institusi. Saat ini sebanyak 205.281 orang tercatat sebagai mahasiswa aktif yang tersebar pada 35 program studi pada empat fakultas (FMIPA, FKIP, FEKON dan FISIP) dan Program Pascasarjana. Jumlah mahasiswa tersebut dilayani oleh 35 buah Unit Pendidikan Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) di 36 kota besar, 1.753 lokasi tutorial dan 671 lokasi ujian.
UT menerapkan sistem belajar “jarak jauh” dan “terbuka”. Istilah “jarak jauh” berarti pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka, melainkan menggunakan media, baik media cetak (modul) maupun noncetak (audio/video, komputer/internet, siaran radio dan televisi). Makna “terbuka” adalah tidak ada pembatasan usia, tahun ijazah, masa belajar, waktu registrasi, berapa kali mahasiswa mengikuti ujian dan sebagainya. Batasan yang ada hanyalah setiap mahasiswa UT harus sudah menamatkan jenjang pendidikan menengah (SMA atau yang sederajat).
Mahasiswa UT diharapkan dapat belajar secara mandiri, yaitu cara belajar yang menghendaki mahasiswa untuk belajar mandiri, mengerjakan tugas, memantapkan keterampilan dan menerapkan pengalaman di lapangan.
Dalam penyelenggaraan pendidikan, UT bekerjasama dengan semua perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia. Pada setiap kota PTN tersedia unit layanan UT yang disebut UPBJJ. PTN tersebut berperan sebagai pembina UPBJJ serta membantu dalam penulisan bahan ajar, tutorial, praktikum dan ujian.
4. 3. Pengalaman Jurusan Biologi FMIPA-UT
Sampai kini UT memiliki empat fakultas, yaitu FMIPA, FKIP, FEKON dan FISIP dan Program Pascasarjana. FMIPA terdiri dari tiga jurusan, yuaitu jurusan Matematika, Statistika dan Biologi. Jurusan Biologi memiliki empat program studi, yaitu: PS. Biologi, PS. Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian (PKP), PS. Teknologi Pangan dan PS. Pengelolaan Lingkungan.
Program studi Biologi merupakan program tingkat sarjana. Hingga kini PS. Biologi baru menerima mahasiswa yang bermukim di daerah Pulau Jawa (kota Jakarta, Bogor, Serang, Bandung, Purwokerto, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Jember), dan Lampung.
Dalam menyelenggarakan praktikum, PS. Biologi melakukan kerjasama dengan Jurusan Biologi pada empat PTN, yaitu: Jurusan Biologi UNJ Jakarta, Univ. Pakuan Bogor, UPI Bandung dan UNS Surakarta. Selain itu sedang dijajaki kerjasama dengan Jurusan Biologi UNESA Surabaya, UNNES Semarang, UNSOED Purwokerto, UNY Yogyakarta dan UNILA Lampung (Rusfidra, 2006b).
Dalam melaksanakan praktikum dan tutorial bagi mahasiswanya, PS. PKP bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Penyuluh Pertanian (STPP), Sekolah Penyuluh Pertanian Negeri (SPPN), Balai Informasi Penyuluh Pertanian (BIPP), Balai Latihan Penyuluh Pertanian (BLPP) yang terdapat di hampir semua wilayah tanah air. Praktikum dan tutorial dilaksanakan di lembaga-lembaga lingkup Departemen Pertanian tersebut.
Selain kerjasama praktikum dengan PTN/PTS, saat ini PS. Biologi mulai mengembangkan praktikum di laboratorium virtual berbasis internet. Menurut Sulistiana (2006) laboratorium virtual adalah laboratorium maya berbasis komputer interaktif yang mengintegrasikan berbagai komponen media dalam bentuk teks, gambar, animasi, suara dan video. Dalam mengembangkan laboratorium virtual terdapat beberapa rangkaian kegiatan mulai dari penyusunan Garis besar Program Medai (GBPM), Analisis Instruksional (AI), flowchart, penulisan naskah, pemrograman dengan macromedia flash. Produk akhir laboratorium dikemas dalam bentuk compact disc (CD). CD ini dapat digunakan sebagai media belajar.
V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5. 1. KESIMPULAN
Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Guru adalah motivator dan fasilitator dalam transformasi IPTEK pada anak didik. Guru bukanlah profesi kelas dua. Sebab itu, calon guru sebaiknya adalah insan terpilih untuk jabatan profesi mulia.
2. Pembelajaran jarak jauh merupakan salah satu solusi dalam meningkatkan kompetensi guru IPA menjadi guru berpengetahuan, cerdas, kreatif, inovatif dan produktif.
3. Ciri utama PTJJ adalah terpisahnnya dosen dengan mahasiswa. Sebagian besar komunikasi antara dosen dan mahasiswa dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail.
5. 2. SARAN
1. Untuk meningkatkan kompetensi guru IPA dan menyediakan kesempatan belajar di pendidikan tinggi bagi guru-guru yang belum berkualifikasi sarjana, maka sistem pembelajaran jarak jauh dapat dijadikan sebagai salah satu solusi.
Title : Penerapan Model Pembelajaran Jarak Jauh untuk Meningkatkan Kompetensi Guru IPA
Description : Oleh : Dr. Rusfidra, S. Pt (Dosen FMIPA, Universitas Terbuka, Jakarta) e-mail: ahmad_rusfidra@yahoo.co.id Abstrak Guru merupakan komponen pe...
Description : Oleh : Dr. Rusfidra, S. Pt (Dosen FMIPA, Universitas Terbuka, Jakarta) e-mail: ahmad_rusfidra@yahoo.co.id Abstrak Guru merupakan komponen pe...
0 Response to "Penerapan Model Pembelajaran Jarak Jauh untuk Meningkatkan Kompetensi Guru IPA"
Post a Comment