Kita Sejajar dengan Ameika ?

Menarik sekali kalau kita mempelajari hasil penelitian PISA sekitar
prestasi studi murid usia 15-an tahun. Murid Indonesia di kotak yang
sama dengan murid AS: yaitu sama-sama di bawah mutu rata-rata dari
ribuan murid yang diperiksa.

Posisi puncak diduduki bukan oleh murid-murid negara yang sering
dikirimi anak-anak Indonesia untuk studi. Bahkan Liechtenstein, negara
mini itu, secara konsisten ada di bagian atas sekali.

Kalau kebanyakan murid kita disekolahkan ke AS sekarang, ya 15 tahun
lagi kita dapat membayangkan apa jadinya. Memang dulu orientasi
orangtua kita mengirim anak belajar ke Eropa, tetapi sejak beberapa
puluh tahun terakhir kebanyakan ke tempat lain. Banyak
pertimbangannya. Namun, orientasi PISA boleh juga dipertimbangkan.

Ada soal lain. Pers Austria, Swiss, Spanyol, Jerman, Polandia, dan
Perancis menyajikan beberapa analisis. Kebanyakan menunjukkan
kegirangan karena peringkat murid-murid dari negaranya masing-masing
meningkat. Itu berarti bahwa tes tahun 2000 dan 2003 dipelajari
baik-baik dan diusahakan agar sistem studi di negara masing-masing
diperbaiki. Sementara itu, panitia sendiri, dari OECD, menegaskan agar
mereka tidak gegabah mengambil kesimpulan. Sebab, tes tahun ini
lumayan berbeda dibandingkan dengan tes tahun-tahun silam. Justru
karena itu barangkali bagi kita malah penting. Sebab, beberapa bulan
lagi Indonesia pasti akan disibukkan lagi dengan pertanyaan ujian
akhir nasional perlu atau tidak?

Yang pasti, tes PISA bukan ujian akhir nasional. Bahkan, di negara
yang menyelenggarakan semacam tes terbatas nasional, tidak dipakai
sebagai ukuran kelulusan. Tidak sedikit yang mengatur sekolah-sekolah
pada tingkat negara bagian atau provinsi karena menghargai kondisi
setiap wilayah yang dianggap sangat memengaruhi keadaan para murid.

Maka, banyak yang menolak ujian akhir nasional demi pendidikan yang
berbasis kemampuan anak sendiri dan untuk mendorong pertumbuhan proses
didik di setiap negara bagian. Sebab, banyak yang beranggapan bahwa
akhirnya untuk pendidikan dasar, yang penting bukan tolok ukur
nasional dari sudut prestasi, melainkan arah nasional yang mendorong
prestasi setempat.

Adanya PISA, yang juga mengetes murid Indonesia, mungkin dipakai
sebagai alasan untuk mengoreksi ujian akhir nasional. Para menteri
persekolahan negara bagian Jerman dan menteri pendidikan Jerman dan
beberapa negara lain berpikir lain. Tentu saja PISA, yang sekarang ini
amat memerhatikan "kemampuan membaca" (bukan hanya Pengetahuan Alam
dan Matematika), menuntut guru dan pemerintah untuk lebih memerhatikan
peningkatan kemampuan murid menyerap lingkungannya.

Hal itu tidak diselesaikan dengan adanya ujian yang sama bagi seluruh
negara untuk murid-murid. Baik partner-partner koalisi dalam kabinet
Austria maupun kabinet Jerman berdebat keras: mereka dengan alasan
masing-masing mengejar model persekolahan yang memfasilitasi murid
untuk lebih belajar mandiri. Tetapi sangat menarik bahwa banyak
menteri pendidikan mencari tahu bagaimanakah murid dari lapisan
masyarakat termiskin berhasil dalam tes ini.

Pernyataan

Bertubi-tubi dilontarkan pernyataan, sejauh manakah anak-anak imigran
dan mereka yang orangtuanya miskin mendapat kesempatan belajar.
Pertimbangannya tidak religius, melainkan sosial: kalau ada sebagian
dari rakyat tidak memperoleh hak didik mereka (apalagi kalau banyak
dari mereka), maka dalam perjalanan waktu seluruh masyarakat akan
merosot. Sekarang sudah tampak bahwa banyak dari yang dalam tes PISA
mendapat angka rendah itu ternyata dari keluarga yang orangtuanya
kurang bersekolah. Rupanya situasi intelektual dalam keluarga
memengaruhi pertumbuhan intelektual murid-murid secara luas.

Apa yang dapat kita petik bagi Indonesia? Kita tidak belajar mengenai
kedudukan kita yang dalam hal pengetahuan alam nomor 50 dan kemampuan
membaca dan Matematika pun tidak begitu jauh di ujung terbawah. Kita
mempunyai dalih mengenai posisi itu. Kita juga tidak mau
memanfaatkannya untuk mengejar target 20 persen APBN untuk sekolah.
Tetapi, kita dapat belajar dari reaksi banyak menteri pendidikan dan
pemerintahan ketika mendapati posisi murid-murid mereka. Ada yang
marah kepada penyelenggara tes, tetapi ada juga yang mulai mengurut:
apa yang dapat diperbaiki dari sistem persekolahan mereka.

Arah perbaikan mereka hampir semua sama: menuju ke sistem persekolahan
yang mendorong murid mereka semakin dapat berpikir mandiri dan yang
memungkinkan penyebaran akses pendidikan makin luas. Kalau demikian,
pengobatannya perlu jangka panjang. Sebab di satu sisi mereka
menyadari bahwa sistem persekolahan mereka amat terikat pada tradisi
masyarakat dan konstruksi seluruh sistem pemerintahan sehingga
perbaikannya perlu waktu lama; di sisi lain, mereka sadar sekali bahwa
perubahan masyarakat di masa depan hanya dapat mulai dengan mendorong
murid berpikir mandiri serta memperluas akses pada proses pencerdasan.
Tetapi kemampuan berpikir memang membutuhkan pendidikan dalam
mengungkapkan diri, baik secara tertulis maupun secara lisan. Sebab
tidak ada pikiran tanpa pengungkapan. Itu diperlukan untuk hidup:
cerdas secara matematis dan cerdas secara linguistis.

Sementara itu, ada kecerdasan sosial yang amat dibutuhkan. Hal itu
mencakup kepekaan sosial yang membutuhkan mekanisme persekolahan dan
mekanisme pergaulan sosial yang terbuka. Eksklusivitas kelompok yang
sesekali muncul dengan banyaknya imigran dari Eropa Timur dan Asia
Barat dianggap merupakan faktor penting dalam pencerdasan murid.
Lambat laun dirasakan bahwa hadirnya orang dari aneka agama mendorong
meningkatnya kebutuhan akan kecerdasan sosial, yang pada gilirannya
menaikkan kecerdasan kepribadian secara menyeluruh.

Tuntutan

Mulai berkembang tuntutan agar pemerintah memfasilitasi hubungan
lintas kelompok dan lintas agama serta mencegah bahwa ada kelompok
fanatik yang mau memaksakan kehendaknya mengatur pergaulan masyarakat
menurut selera mereka. Hal itu tidak hanya dianggap tidak sesuai
dengan hak asasi manusia atau demokrasi dan karena itu aparat
pemerintah wajib menanggapinya dengan serius. Tetapi hal itu dinilai
juga merosotkan kecerdasan sosial yang dalam jangka panjang akan
membuat masyarakat secara keseluruhan mundur ke abad pertengahan.
Mungkin di sanalah Indonesia dapat belajar.
Title : Kita Sejajar dengan Ameika ?
Description : Menarik sekali kalau kita mempelajari hasil penelitian PISA sekitar prestasi studi murid usia 15-an tahun. Murid Indonesia di kotak yang sam...

0 Response to "Kita Sejajar dengan Ameika ?"

Post a Comment

Powered by Blogger.